Riwayat Jan Mintaraga Gerdi Wk Hans Jaladara San Wilantara Siauw Tik Kwie atau Otto Suastika Man atau Mansyur Daman Para Kolektor dan Penggila Komik
Selasa, 14 Desember 2010
Menyambung Napas Kho Ping Hoo
Berbeda dengan masa jayanya, cerita silat KhoPing Hoo kini diedarkan per judul hingga tamat.
Bangunan tua di tengah perkampungan, Mertokusuman, Gandekan, Jebres, Solo itu terlalu besar untuk sebuah kantor penerbitan dengan tujuh orang karyawan. Di sana-sini dijumpai tumpukan buku dengan ukuran mini. Satu- satunya mesin cetak di kantor penerbit CV Gema itu tak lagi beroperasi.
“Dulu mesin itu memang milik CV Gema, tapi dengan pertimbangan efisiensi, Gema tak lagi mencetak sendiri. Mesinnya dikelola oleh salah satu keluarga Kho Ping Hoo,” kata Bunawan, Direktur CV Gema. Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo adalah sebuah nama yang begitu melekat di benak penikmat cerita silat di Indonesia.
Dari gedung tua yang tampak tak terawat itulah muncul jagoan-jagoan silat rekaan pengarang yang sangat populer pada 1960-1970-an itu. Sejak 1965, Gema setia menerbitkan buku-buku Kho Ping Hoo. “Setelah tujuh tahun karya- karyanya dicetak dan diterbitkan oleh penerbit lain, Kho Ping Hoo memutuskan mendirikan sendiri penerbitannya,” kata Bunawan, menantu tertua Kho Ping Hoo.
Mula-mula, kata Bunawan, Kho Ping Hoo menerbitkan cerita silat pada 1958 melalui Penerbit Selecta Grup. Melihat besarnya minat pembaca bukubukunya, Kho Ping Hoo merintis usaha penerbitan sendiri. Ia mengarang, mencetak, menerbitkan dan memasarkan sendiri.
Tapi pada akhirnya Ping Hoo kewalahan dengan semakin membeludaknya penggemar buku- bukunya. Bunawan yang baru saja menikah dengan anak pertama dari istri pertama Kho Ping Hoo pun diminta mengurusnya sejak 1973. “Bapak konsentrasi mengarang,” ucapnya.
Gema mencetak setiap jilid yang baru diselesaikan pengarang kelahiran 1926 itu. Dari setiap judul ada puluhan jilid. Gema telah menerbitkan ratusan judul cerita silat. Bunawan mengenang, saat itu setiap jilid buku Kho Ping Hoo itu digemari. Ia menyebut persewaan buku dijubeli remaja-remaja yang berebut untuk meminjam buku seukuran notes tersebut.
Di masa jaya itu, Gema bisa mencetak lebih dari 10 ribu eksemplar untuk setiap jilid. Namun dengan berlalunya waktu, masa keemasan Kho Ping Hoo pun surut. Tapi toh itu tak memudarkan semangat Gema untuk terus mencetak dan menerbitkan ulang cerita silat yang beberapa di antaranya diangkat ke layar lebar tersebut.
“Ada 112 cerita silat Mandarin dan 25 cerita silat Indonesia serta beberapa roman yang terus diterbitkan ulang,” kata Bunawan. Menurut pria berusia 61 tahun ini, sampai sekarang kantornya masih sering mendapatkan order dari penggemar Kho Ping Hoo.
Dia mengaku paling sepi, dalam sepekan pasti ada 2- 4 orang yang memesan. Berbeda dengan masa jayanya, cerita silat Kho Ping Hoo kini diedarkan dalam bentuk set alias per judul hingga tamat. “Kalau dulu kan per jilid, sekarang kami menerbitkannya per set sehingga ada yang satu judul mencapai 60-an jilid,” ujarnya.
Meski demikian, Bunawan yang beberapa tahun ini dibantu oleh salah satu adik iparnya, Onkie Asmaraman, 47 tahun, masih tetap mempertahankan ciri khas buku Kho Pingho. Sampul muka dari kertas HVS dengan gambar tangan 1-2 warna.
Huruf yang dipilih pun tetap seperti mesin ketik meski sudah menggunakan komputer. “Pernah dicoba diterbitkan seperti novel, tapi para penggemar keberatan. Ya sudah, kami mengikut saja, daripada tidak laku,” katanya.
Buku terbitan ulang rata-rata dicetak 500 eksemplar setiap judul. Ini jumlah yang sedikit. Tapi menurut Bunawan, dengan jumlah sebesar itu Gema masih bisa memetik keuntungan. Setiap set (judul) dari seri 1 hingga tamat, Bunawan menjual dari harga yang termurah Rp 8.000 (Dendam Membara, 4 jilid) hingga Rp 124 ribu (Jodoh Rajawali, 62 jilid).
Dari ratusan judul buku cerita silat tersebut, serial Bu-Kek Sian- Su dengan 17 judul dan Siang Bhok Kiam (12 judul) merupakan best seller. Selain pesanan, buku-buku Kho Ping Hoo juga dijual melalui toko-toko buku, termasuk toko buku Gramedia dan Gunung Agung.
Menurut Bunawan, sampai saat ini Kho Ping Hoo masih memiliki banyak penggemar. “Rata-rata bapak-bapak berusia 40-an tahun. Mereka ini dulu semasa remaja menyenangi Kho Ping Hoo, tapi dilarang orangtuanya. Waktu itu kan baca cerita silat dianggap membuat orang jadi malas belajar.
Nah setelah tua mereka ingin membaca sekaligus mengoleksi,” tutur Bunawan. “Ada pemesan dari Jakarta yang bilang kalau dia ingin melampiaskan dendamnya karena waktu SMP tidak boleh baca Kho Ping Hoo.” Ia menceritakan, pernah ada seorang penggemar Kho Ping Hoo datang ke Mertokusuman No 761 untuk memborong hampir semua judul karya pengarang yang sudah 11 tahun lalu meninggal itu.
“Dia membeli sampai habis satu juta rupiah lebih,” ucap Bunawan yang juga menyebut bekas KSAD Jenderal (Purn) Subagyo sebagai penggemar yang memiliki koleksi lengkap. Di Amerika Serikat, kata Bunawan, juga ada Kho Ping Hoo Club yang secara periodik bertemu di salah satu rumah warga Indonesia yang memiliki koleksi lengkap. “Sering kok mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika Serikat, Belanda, Arab Saudi, dan Jepang memesan buku- bukunya agar dikirimkan ke sana,” katanya.
Dari sejak berdiri hingga sekarang, Gema hanya sebatas perusahaan penerbitan keluarga. Hasil keuntungan dari penjualan buku-buku Kho Ping Hoo pun dibagi rata setiap tahunnya kepada 12 anak Kho Ping Hoo dari 2 orang istrinya, Rosita dan Hartini yang kini masih hidup. Ya ndak ada royalti-royaltian. Setiap tahun keuntungan yang dikumpulkan dibagi bersama. Sederhana saja.”
Saat mendirikan Gema, KhoPing Hoo sebenarnya tak hanya ingin menerbitkan bukunya sendiri. Sejumlah karya pengarang cerita silat seperti Widi Widayat, Gator Riyo Purwanto, B. Permaidi HP juga diterbitkan Gema. “Tapi karena yang laku memang buku Kho Ping Hoo, mau ndak mau fokus utamanya ya ke situ. Kho Ping Hoo sendiri sebenarnya ingin mengangkat pengarang yang lain,” katanya.
Bunawan yakin selama penggemar cerita silat karangan mendiang mertuanya itu masih ada yang memburu, Gema pasti akan tetap ada. Dia merasa senang ketika sebuah media online membuat cerita Kho Ping Hoo secara bersambung. “Seperti diiklankan, padahal kami justru yang dibayar.”
imron rosyid
Dari : feidao.multiply.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mntp gan...cerita lama kata2 nya asli ..bukan bhsa gaul..dan ceritanya natural bnget..sy jg suka ceritanys
BalasHapusHey, check this website, I just found : europeanclassiccomic.blogspot.com
BalasHapus