Rabu, 10 Februari 2010

Hasmi Berharap Ada Yang Bikin Game Gundala


Bulan ini, 40 tahun lalu, muncul kali pertama komik berjudul Gundala Putra Petir. Saat itu, Gundala, si tokoh utama, sempat menjadi pujaan anak-anak. Dia adalah superhero asli buatan Indonesia. "Bagaimana nasib si pencipta tokoh itu sekarang"

NAMA panjangnya adalah Harya Sura Minata. Tapi, nama bekennya Hasmi. Dialah sosok di balik tokoh superhero Gundala. Sejumlah judul komik yang saat itu populer lahir dari tangan¬nya. Kini Hasmi berusia 63 tahun dengan dua anak yang masih kecil.
Komik dengan tokoh utama Gundala kali pertama di-launching pada 1969.

Kehadiran Gundala kala itu mendapat sambutan hangat. Setelah itu, muncul judul-judul komik dengan tokoh utama Gundala. Hampir setiap tahun, lahir 1-4 judul dari tangan Hasmi. (selengkapnya tentang judul-judul komik Gundala baca grafis). Saking populernya kala itu (era 1970-1980), Gundala pernah difilmkan pada 1981. Film layar lebar itu disutradarai Lilik Sudjio. Tokoh Gundala diperankan aktor Teddy Purba.
Kini kepopuleran sang superhero Gundala agaknya tinggal nama. Hasmi mengakui, saat ini komik lokal tidak lagi punya tempat istimewa di kalangan masyarakat. Bila dahulu komik adalah hiburan yang punya prestise, saat ini banyak hiburan lain yang bisa diakses masyarakat dengan biaya lebih murah.

"Fans saya (Gundala) rata-rata sekarang berusia 40-50-an tahun. Tidak banyak anak muda yang tahu saya. Era komik sudah kehilangan kepopulerannya mulai 1980-an," kata Hasmi ketika ditemui Radar Jogja (Group Radar Banjarmasin) di rumahnya di Karangwaru, Jogja. "Tapi, saya menganggap ini sebagai hal yang normal. Ini konsekuensi dari hidup di dunia global. Banyak hiburan asing yang masuk,"imbuhnya.
Hasmi menceritakan, masa¬masa keemasan Gundala datang sebelum 1980-an. "Saat itu tidak banyak hiburan yang bisa dinikmati. Saat itu belum ada game dan internet. Baca komik sudah yang paling gaul," katanya, lalu terkekeh.
Kepada penggemar setia yang masih mengingat Gundala dengan baik, Hasmi mengatakan bahwa dirinya sangat terkesan. "Sampai saat ini, Gundala bisa dibilang sudah tidur selama 25 tahun. Tapi, masih saja ada yang kadang bertanya kepada saya tentang kelanjutan Gundala," paparnya.

Sebagai salah satu hasil karya asli Indonesia, Hasmi berharap agar Gundala bisa kembali dikenalkan kepada generasi muda. Hasmi juga menilai ide memfilmkan Gundala sebagai ide bagus. "Mengenalkan lewat film itu ide yang patut dicoba. Memang belum tentu sukses dan biayanya juga tinggi. Tapi, kenapa tidak dicoba" ujarnya.
Hiburan audio visual, kata Hasmi lebih diminati saat ini. Karena itu, Gundala juga bisa ditampilkan dalam audio visual. "Sekarang yang audio visual lebih disukai. Anak-anak lebih suka internetan dan main game daripada membaca. Mengapa tidak dikenalkan lewat audio visual?" katanya.

Hasmi menyadari, membuat film membutuhkan usaha dan dana yang jauh lebih besar daripada membuat komik. Namun, Indonesia saat ini punya banyak individu kreatif yang bisa mendukung dibuatnya film Gundala.
"Menurut saya, tidak seharusnya kita ragu memproduksi film Gundala karena khawatir tidak akan diterima pasar. Kita punya banyak bekal untuk itu kok. Yang penting adalah kerja sama tim dan pendukungnya," ucapnya yang Siang itu ditemani sang istri Mujiati dan putri bungsunya, Batari Sekar Dewangga.
Selain setuju difilmkan, Hasmi juga tidak keberatan Gundala dijadikan game. Menurut dia, hal ini sah saja dilakukan asal karakter Gundala sebagai pembela kebajikan tetap dipertahankan. "Pada dasarnya, Gundala kan tokoh yang mengajarkan kebaikan. Mau dia tampil dalam bentuk film, animasi, atau game,sepanjang karaktemya masih sama, saya tidak masalah," tegasnya.

Mengangkat kembali superhero lokal, lanjut Hasmi, perlu dilakukan agar kebanggaan terhadap bangsa sendiri muncul. "Kita kan sedang mengalami krisis identitas dan budaya. Apalagi, negara tetangga sering mengklaim budaya kita sebagai bagian dari mereka. Karena itu, budaya yang masih ada, termasuk karya sastra, perlu kita angkat kembali. Dengan begitu., muncul kebanggaan," terang ayah dua putri itu.
Tokoh Gundala pernah difilmkan pada 1981. Untuk pembuatan film itu, Hasmi mengatakan mendapat uang Rp 1,5 juta. Uang itu kini seakan tak berbekas. Dan, Hasmi pun sekarang sehari-hari bekerja serabutan.

Ketika kali pertama membuat komik Gundala pada 1969, Hasmi sama sekali tidak berpikiran bahwa komiknya itu bakal difilmkan. Dia menyadari, tidak mudah dan tidak murah membuat film superhero. Apalagi, dunia pembuatan film di Indonesia saat itu belum secanggih di Amerika yang sudah biasa membuat film-film superhero. Saat Gundala kali pertama difilmkan pada 1981, Hasmi tidak terlibat dalam pembuatannya.
Sebagai penulis asli cerita superhero Gundala, Hasmi hanya dimintai saran dan pertimbangan tentang plot cerita awal Gundala. Namun, pengembangannya diserahkan kepada penulis skenario. "Saya hanya ditanya¬tanya soal Gundala. Seperti apa karakternya dan bagaimana latar belakangnya. Setelah itu, saya murni penonton, tidak terlibat di dalamnya," ujarnya.(jpnn)
Sumber artikel: Surat Kabar Harian Radar Banjarmasin pada hari rabu, 30 September 2009

Yuk, Jadi Saksi dan Pelaku Sejarah Komik Indonesia!


Digelarnya pameran komik diharapkan bisa mendukung kemajuan komik Indonesia, terutama sebagai media pendidikan dan ekspresi budaya masyarakat Indonesia.
Komunitas Pengumpul Komik Indonesia (Pengki), Komunitas Penerbit Komik Indonesia (KPKI), dan Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional (Perpustakaan Depdiknas) kembali mengajak masyarakat luas untuk menjadi saksi sekaligus pelaku dalam sejarah komik Indonesia. Ajakan tersebut ada di Pameran Cergam dengan tema “Komik Indonesia Bangkit!”.
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Depdiknas Muhadjir, pameran yang dibuka sejak Rabu (2/12) di Perpustakaan Depdiknas ini diharapkan bisa membantu upaya mendukung kemajuan komik Indonesia, terutama sebagai media pendidikan dan ekspresi budaya masyarakat Indonesia. Pameran Cergam berlangsung hingga 12 Desember 2009 mendatang di Perpustakaan Depdiknas, Jakarta.
Menurut seorang panitia, Ambar Arum, selain memamerkan karya-karya para komikus Indonesia, pameran ini juga akan menggelar workshop "Comic For Everyday" bersama CerGam Center. Dilaksanakan selama dua hari pada Jumat dan Sabtu (11 dan 12 Desember), workshop diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja usia 9-18 tahun. Di akhir acara, Sabtu (12/12), juga akan diadakan peluncuran komik "Gina" karya Gerdi W.K.
Ambar menambahkan, Pameran CerGam merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Komik Indonesia yang akan diselenggarakan pada 26-28 Februari 2010 di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Festival Komik Indonesia akan menjadi ajang perayaan komik dengan tema “Berani Ngomik!”.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO Kamis, 3 Desember 2009 | 11:49 WIB
Dari : edukasi.kompas.com

Senin, 08 Februari 2010

Asal Mula Terjadinya Gina Pahlawan Wanita Ciptaan Gerdi WK


Walaupun Oom Gerdi WK memulai kisah Gina dari awal, ketika Gina masih seorang gadis biasa, namun bagi saya kisah Gina dimulai ketika tokoh ini ditangkap Dewi Ular yang sakti. Tentu saja kalah, karena Gina masih seorang gadis biasa.
Setelah kalah Gina diikat di tiang dengan baju yang minim, sementara Dewi Ular bercerita didepannya tentang awal mulanya Dewi Ular berubah menjadi sakti, yaitu karena ditolong oleh Raja Ular. Digembleng selama beberapa bulan oleh Raja Ular, maka Dewi Ular jadi sakti dan sukar terkalahkan.
Ketika diikat ditiang itulah, Gina tolong oleh seorang kakek sakti. Gina dilepaskan dari ikatannya, dan sebagai ganti Gina, sang kakek menciptakan Gina palsu yang terikat di tiang tersebut.


Oleh sang kakek, kemudian Gina dilatih hingga menjelma menjadi pahlawan wanita sakti yang bisa terbang.


"Oleh kakek itu aku dibawa terbang ke tempat kediamannya, lalu ditempat kediamannya itu aku ditempa menjadi manusia ajaib yang sakti mandraguna, yang akan diandalkan oleh kakek itu untuk menjadi pemberantas kejahatan didunia ini sebagai wakil dirinya. Maka jadilah aku seorang Siti Hasana baru pemberantas kejahatan, penegak keadilan yang sakti mandraguna dengan nama baru : GINA
Seperti apakah Gina sebelum jadi seorang superhero ? Ternyata Gina hanya gadis biasa, puteri seorang Sultan di negeri TURABA
Ia bebas bercanda dengan dua orang kakak lelakinya yang bernama Marwan dan Rustam. Lalu siapakah nama aseli Gina semula ? Ternyanya namanya adalah : Sina atau Siti Hasina .... nama inilah yang kemudian berganti menjadi Gina.(Ahita Teguh Susilo)


Gina sebelum menjadi super hero, masih bernama Sina atau Siti Hasina

Sabtu, 06 Februari 2010

Andy Wijaya: Cita Rasa Gundala sangat Lokal

Kalau yang ini foto Andy Wijaya di Facebook ... tampak muda banget


Andy Wijaya: Cita Rasa Gundala sangat Lokal
Pemilik toko komik lokal ini, bicara banyak tentang perkembangan komik di Indonesia.
Senin, 9 November 2009, 12:31 WIB
Irina Damayanti, Gestina Rachmawati

VIVAnews – Tak hanya bicara komik secara keseluruhan, Andy juga mengangkat tentang tokoh Gundala, figur pahlawan lokal yang sudah digandrungi sejak dulu.
Andy Wijaya, pemilik toko komik ‘ANJAYA’ yang ditemui VIVAnews di tokonya di bilangan ITC Kuningan, berbicara banyak mengenai hobi dan bisnisnya di dunia perkomikan Indonesia.
Berawal dari kegemarannya membaca komik local, akhirnya Andy memutuskan untuk membuka usaha toko komik yang sudah ditekuninya sejak 17 September 2004. “Setelah komik lokal mulai terpuruk dengan kehadiran komik import Jepang, saya merasa makin sulit untuk mencari komik-komik seperti “Gundala”, “Godam” dan “Si Buta Dari Goa Hantu”, untuk nostalgia. Untuk itu, saya berinisiatif untuk mencoba membuka toko komik Indonesia, dimana para penggemar komik lokal bisa datang kesini untuk membeli sekaligus nostalgia, dan diperkenalkan pada putra-putrinya,” ujar Andy.
Andy pun akhirnya berpetualang dan berburu komik lokal untuk menjalani bisnisnya ini. Meski kerap mendapat kesulitan, Andy tak pantang menyerah. Ia pun berburu komik hingga keluar Jakarta, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatra dan Padang.
“Namanya juga berburu barang koleksi, kadang kita bisa beruntung mendapatkan koleksi yang kita cari, kadang kita juga buang-buang waktu, tenaga dan uang. Karena suka nggak ketemu juga. Malah kadang kita jadi suka menemukan komik-komik baru. Karena komik Indonesia itu judulnya memang banyak sekali, Di Jakarta sebetulnya banyak, tapi milik para kolektor, dan kan mereka nggak mau jual,” imbuh Andy.
Dalam tokonya ini, Andy menjual kurang lebih sekitar 800 buah judul komik popluler. Tidak hanya cerita heroik, tema-tema roman, silat dan humor seperti komik “Petruk Gareng” juga tersedia. Beberapa koleksi dari tahun 50-an pun dijual disini, seperti “Wiro Anak Rimba (1950)”, “Ramayana (1956)” dan “Mahabarata” (1957) dan masih banyak lagi.
Andy juga menjual kisah tentang tokoh pahlawan local Gundala. Keterlibatannya pertama kali karena bekerjasama dengan BumiLangit, pemegang hak cipta Gundala. “Kita juga ngurusin penerbitan ulang, sudah hampir empat judul. Saya rasa, antusias pembacanya masih ada, sempat yang pertama itu kita cetak diatas 5000 eksemplar oplahnya,” ucap pria yang mengaku pernah bekerja di BumiLangit itu.
Meski penjualannya tidak sebesar “Jaka Sembung” dan “Si Buta Dari Goa Hantu”, animo peminat komik Gundala diakui Andy masih banyak. “Pembacanya kalo untuk yang nostalgia berusia 30 tahun keatas, tapi banyak para orangtua yang ngasih ke anaknya, yang masih usia 10 tahun sampai 12 tahun. Mereka senang ada alternatif lain selain komik-komik import. Citra rasa-nya lokal banget. Gaya bercanda dan situasi ekonominya juga sangat Indonesia.”
Karakter tokoh Gundala dikenal sangat manusiawi dan tak jauh dari keseharian kita. “Gundala itu jagoan yang bisa sedih, marah, bisa jatuh cinta, bisa ditolak perempuan dan sebagai superhero, dia sering kalah, nggak jago-jago banget, justru disitu kelihatan sisi manusiawinya,” kata Andy.
Sampai saat ini, sudah empat judul serial Gundala yang sudah dicetak ulang, yakni “Asal Usul Gundala Putra Petir”, “Perhitungan di Planet Koffox”, “Dokumen Candi Hantu”, dan “Operasi Goa Siluman”. Dijual denfan harga Rp 16.000, tapi ada harga khusus untuk yang versi bekas dan biasa dicari para kolektor, harganya bisa mencapai Rp 500.000.
Khusus untuk penjualannya, Andy Wijaya mengatakan,” Kalo dalam sebulan, di toko saya mungkin Komik Gundala bisa laku sekitar 30-40 eksemplar. Saya punya 23 judul Gundala, tapi masih ada satu yang saya cari. Karena kendalanya pengarangnya sendiri kadang suka lupa udah bikin komik berapa kali. Kalo Gundala sendiri, keuntungannya cukuplah, nggak sampe rugi. Mungkin BEP-nya dalam waktu setahun. Karena untuk komik ini, pangsa pasarnya masih ada.”
Andy pun bercita-cita untuk bisa mengeskpos tokoh Gundala lebih luas agar bisa terdengar, entah itu lewat film atau sinetron. Hal ini ia rencanakan untuk menyambut Ultah Gundala yang ke lima Windu.
Sebelum menutup wawancara, Andy juga mencurahkan harapannya demi masa depan komik Indonesia.
“Saya berharap banyak terutama pada generasi muda, mereka kan ujung tombak kita. Semoga mereka masih mau membuat karakter komik-komik baru dan juga mau meneruskan lagi karakter yang pernah jaya seperti “Gundala”, “Godam” dan “Si Buta Dari Goa Hantu”, sehingga komik Indonesia bisa bangkit lagi,” papar Andy yang senang pernah bertemu dan mengobrol langsung dengan Hasmi, pencipta tokoh Gundala.

Dari : http://cangkang.vivanews.com/news/read/103881-andy_wijaya__cita_rasa_gundala_sangat_lokal

Kegilaan Pemburu Komik Indonesia


Para kolektor komik Indonesia semakin gencar memburu komik asli Indonesia yang makin langka. Harga terbitan asli bisa mencapai jutaan rupiah.

Komik atau cerita bergambar saat ini tidak bisa hanya dianggap secara sederhana. Terutama komik-komik tua Indonesia saat ini merupakan salah satu barang koleksi yang bayak diperebutkan para kolektor yang umumnya sudah bukan anak-anak kecil lagi. Harganyapun tidak bisa diprediksi, terkadang para kolektor harus berani membayar jutaan rupiah untuk satu komik.

Perasaan dapat kembali ke masa lalu menjadi salah satu kepuasan dan alasan kuat bagi Henry Ismono, salah seorang kolektor komik di Jakarta. Komik-komik koleksinya adalah komik-komik Indonesia yang mulai langka, yakni komik-komik yang diterbitkan pada era kejayaan komik Indonesia di tahun ’60 – ‘70-an.

“Dengan mengumpulkan komik-komik Indonesia, saya seperti kembali ke masa silam (masa anak-anak) saat masih SD,” kata Henry yang mengaku gemar membaca komik sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, dia harus menyewa dari tempat-tempat persewaan komik di kota asalnya Salatiga, Jawa Tengah. Harga sewanya kala itu antara 5 rupiah sampai 10 rupiah per komik.

Sampai saat ini, koleksi komiknya sudah mencapai ribuan, dengan ratusan judul komik. Di antara komik-komik koleksinya, antara lain Gundala Putra Petir, Mahabarata, Jaka Sembung, Godam, Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak, Kelelawar, Mandala Siluman Sungai Ular, Si Tolol, Djampang, dan masih banyak lagi.

Henry mulai mengoleksi komik sejak 2004 lalu. Diawali ketika dia menemukan komik masa kecilnya yakni Gundala Cuci Nama. Dia sendiri mengaku tidak pernah menyangka akan menemukan komik masa kecilnya tersebut kembali. “Dulu pernah punya (komik Gundala Cuci Nama) tapi hilang,” kata Henry.

Sejak menemukan kembali komik lama itulah, keinginan untuk mengumpulkan komik-komik lama Indonesia seperti tidak bisa dihentikan. Terlebih setelah dia bergabung dengan komunitas pencinta komik Indonesia . “Kita jadi bayak saling bertukar informasi tentang komik-komik Indonesia dalam komunitas ini. Ya sudah semakin akut saya mengumpulkan komik-komik ini,” katanya.

Ribuan komik miliknya dikumpulkan selama lebih kurang lima tahun terakhir dengan cara berburu ke pasar-pasar loak. Tidak hanya pasar loak di Jakarta yang menjadi area perburuannya, Henry juga berburu komik-komik lama ini hingga ke daerah-daerah yang pernah dia kunjungi, baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Waktu untuk berburu komik ini biasanya adalah pada hari-hari libur terutama Sabtu dan Minggu.

Untuk bisa terus menambah koleksinya, Henry mengaku tidak sungkan menjalin hubungan baik dengan para penjual buku-buku bekas di pasar-pasar loak yang dianggap sebagai mitra dalam perburuanya. “Kadang saya suka bilang, kalau ada komik yang bagus jangan kasih tahu kolektor lain. Hubungi saya saja,” akunya sedikit membuka rahasia sesama pemburu komik.

Selain dari hasil berburu, beberapa koleksi komik Henry ada juga yang didapat dari hasil barter dengan sesama kolektor komik yang jumlahnya sekitar 20 – 30 orang dalam komunitasnya ini. Tapi komik hasil barter tersebut tidaklah banyak, yakni sekitar 5 sampai 10 persen dari koleksi komik yang dimiliki.

Perburuan komik bagi Henry tidak lepas dari hitung-hitungan hoki seseorang. Menurutnya, jika memang sedang tidak hoki, kendati memiliki uang yang banyak namun tetap saja dia tidak menemukan barang yang diinginkannya. “Tapi kalau lagi nggak punya uang ternyata malah ada yang nawarin,” katanya.

Salah satu contoh Henry mendapatkan hoki saat berburu komik adalah saat tengah berkunjung ke Magelang, Jawa Tengah. Dia mendapati banyak sekali komik Indonesia di pasar-pasar loak. Jumlahnya hampir satu karung dan harganya hanya 100 ribu rupiah. “Sampai di Jakarta teman ada yang meminta salah satu judul dan akan dibayar 400 ribu rupiah. Tapi saya tidak kasih,” katanya.

Kegilaannya kepada komik membuat Henry memiliki bujet khusus untuk membeli komik. Dalam sebulan setidaknya dia menyisihkan 1,5 – 2 juta rupiah untuk berburu komik. Bahkan, dia mengaku sempat berutang ke kantor hanya untuk membeli komik langka berjudul Mahabarata karya RA Kosasih yang diterbitkan penerbit Melodi.

“Saat itu, saya lagi tidak punya uang tapi ada yang menawarkan. Akhirnya saya pinjam uang ke kantor 3,5 juta rupiah untuk beli satu komik. Itu komik termahal yang saya miliki,” katanya sambil mengurai tawa.

Soal harga komik-komik Indonesia, menurut Henry, sangat bervariasi. Biasanya mahal-murahnya bergantung dari langka tidaknya komik tersebut. Patokan umumnya adalah tahun terbit dari komik yang bersangkutan. Komik terbitan tahun 1965-1966 harganya bisa mencapai 500 ribu rupiah. Ini harga untuk satu seri yang umumnya 64 halaman saja. Sedangkan untuk komik satu set yakni satu cerita tamat harganya bisa mencapai 3,5 juta rupiah.

Henry juga memberlakukan secara khusus komik-komik koleksinya ini di rumahnya. Satu per satu komik koleksinya ini dimasukkan dalam amplop plastik kemudian disusun secara rapi di lemari-lemari yang khusus di belinya untuk menampung kegilaannya pada komik-komik ini. “Harta saya di rumah yang berharga yah komik ini,” ujarnya.

Kendati telah memiliki ribuan koleksi, Henry mengaku masih terus ingin menambah lebih banyak lagi koleksi komik-komik Indonesia. Sampai saat ini, dia mengaku masih terobsesi untuk memiliki karya-karya komikus Jair Warni Ponakanda yang mengarang komik Jaka Sembung. Terutama karya-karya awal Jair. “Saya rasanya tidak bisa berhenti untuk terus mengoleksi,” katanya.

Tidak jarang untuk melengkapi kegilaannya terhadap komik dan koleksi-koleksinya, Henry juga mendekati langsung ke tokoh pengarangnya yakni komikus-komikus lama tersebut. Sayangnya, para komikus ini justru tidak menyimpan karya-karya mereka sendiri. “Alhasil saya minta dibuatkan saja sketsa oleh mereka dan saya pajang di rumah,” tuturnya.

Maka, di dinding rumahnya terpajang sketsa asli dari pelukis Man, Gerdy WK, RA Kosasih, dan Hans Jaladara.
nik/L-1

Dari : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=14248

PROFIL - OPTIMISME PEDAGANG KOMIK LAMA

Nah ini foto Mas Andy Wijaya dari Anjaya Bookstore dan Tommy Johan Agusta dari Balicomic

Komik modern asal Jepang saat ini tidak menyurutkan niat pedagang komik Indonesia lama untuk terus mencari dan menjual buku cerita bergambar yang umurnya sudah puluhan tahun itu. Munculnya komik-komik modern asal Jepang saat ini tidak menyurutkan niat pedagang komik Indonesia lama untuk terus mencari dan menjual buku cerita bergambar yang umurnya sudah puluhan tahun itu.
Komik modern yang bermunculan dengan cerita versi Jepang seperti Naruto dan Detektif Conan seolah menjadi cambuk bagi Andy Wijaya untuk mengembalikan kejayaan komik Indonesia lama. Andy Wijaya merupakan pedagang komik Indonesia lama yang membuka toko di ITC Kuningan Lantai 4 Blok C6 No.3A Jakarta Selatan. Selain menjual komik lama dia juga mencetak ulang beberapa komik tersebut.
Mungkin orang tidak percaya kalau komik yang sudah kusam dengan warna kertas kecoklatan itu dijual di sebuah mal, namun itu lah niat Andy untuk menghidupkan kembali komik Indonesia.
Ia mengakui saat ini belum bisa mengandalkan dari hasil penjualan komik lama untuk hidup, tetapi masih ditopang dengan penjualan buku cerita silat yang juga dipajang di tokonya itu." Saat ini kami belum bisa mengandalkan penjualan komik lama untuk pegangan hidup, tetapi kami yakin sekitar 10 tahun mendatang komik Indonesia akan kembali dicari orang," katanya. Ia menyebutkan, rata-rata per minggu dapat menjual komik lama sebanyak 10 buku dan buku cerita silat bisa laku hingga 20 buku.
Menurut dia, setelah bisa meyakinkan generasi muda yang kini sedang menggemari komik Jepang, mudah-mudahan prospek komik Indonesia akan kembali cerah sehingga dapat menghasilkan keuntungan bagi pedagang.
"Komik Jepang merupakan kompetitor kami, maka mau tidak mau harus ada strategi untuk menghidupkan kembali komik Indonesia dengan cara mencetak ulang," katanya.
Ia mengatakan, mana mungkin anak-anak sekarang mau membaca komik "jadul" (zaman dulu--red) yang dibuat tahun 1970-an. Melihat saja mungkin mereka tidak mau. Untuk menarik minat pembaca, katanya, komik-komik dengan cerita khas Indonesia itu perlu dicetak ulang. Hingga sekarang dia telah mencetak ulang beberapa komik lama, antara lain Mandala, Maza, Gundala, Godam, dan Si Buta dari Gua Hantu." Masing-masing kami cetak 1.000 buku, kecuali Gundala dicetak 2.000 buku karena banyak peminatnya," katanya.

Nostalgia
Berawal senang membaca komik sejak kecil, Andy tergerak dan terinspirasi untuk membuka toko komik lama yang sekarang tidak ditemukan di toko buku." Semula saya memang senang membaca komik dan saya melihat potensi komik dengan cerita lama cukup bagus, terutama bagi kaum dewasa yang ingin bernostalgia," katanya.
Menurut dia, ada kecenderungan orang ingin bernostalgia, begitu juga bagi penggemar komik yang kini sudah berusia 40 tahun lebih akan mencari komik yang pernah dibacanya waktu masih remaja. Andy mengatakan banyak kaum dewasa yang mencari komik lama tersebut antara lain Mandala, Maza, Si Tangan Sakti, Petualangan Asmara, dan Kuntji Petaka.
Ia mengatakan, komik-komik lama tersebut dijual dengan harga sekitar Rp250 ribu per set, namun juga ada yang lebih dari harga tersebut tergantung sulit tidaknya mencari komik tersebut." Kalau memang barangnya sudah langka bahkan ada yang mencapai Rp1 juta per set," katanya.
Ia mengaku mendapatkan komik lama dari taman bacaan maupun kolektor. Meskipun terhitung mahal, katanya, ada saja peminat komik lama, karena memang kepuasan itu mahal harganya. Para peminat komik lama tersebut, katanya, selain untuk bernostalgia, mereka ingin mengoleksinya.
Selain mencetak ulang, Andi juga menyediakan jasa foto kopi bagi penggemar yang sekadar ingin membaca komik untuk bernostalgia tetapi tidak ingin mengoleksinya.
"Untuk memfoto kopi, kami hanya mengenakan biaya Rp200 per lembar sehingga harganya jauh lebih murah dibanding membeli aslinya," katanya.
Seorang penggemar komik lama, Anton (40), mengatakan ingin membaca komik-komik yang pernah dibacanya tahun 1970-an sebagai nostalgia." Dengan membaca komik-komik yang pernah dibaca waktu muda seakan kami kembali muda," katanya. Ia mengatakan, kepuasan tersebut tidak bisa tergantikan dengan yang lain.

Oleh Heru Suyitno

Dari : http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/70637-____profil---optimisme-pedagang-komik-lama____.pdf