Selasa, 14 Desember 2010

Menyambung Napas Kho Ping Hoo


Berbeda dengan masa jayanya, cerita silat KhoPing Hoo kini diedarkan per judul hingga tamat.

Bangunan tua di tengah perkampungan, Mertokusuman, Gandekan, Jebres, Solo itu terlalu besar untuk sebuah kantor penerbitan dengan tujuh orang karyawan. Di sana-sini dijumpai tumpukan buku dengan ukuran mini. Satu- satunya mesin cetak di kantor penerbit CV Gema itu tak lagi beroperasi.

“Dulu mesin itu memang milik CV Gema, tapi dengan pertimbangan efisiensi, Gema tak lagi mencetak sendiri. Mesinnya dikelola oleh salah satu keluarga Kho Ping Hoo,” kata Bunawan, Direktur CV Gema. Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo adalah sebuah nama yang begitu melekat di benak penikmat cerita silat di Indonesia.

Dari gedung tua yang tampak tak terawat itulah muncul jagoan-jagoan silat rekaan pengarang yang sangat populer pada 1960-1970-an itu. Sejak 1965, Gema setia menerbitkan buku-buku Kho Ping Hoo. “Setelah tujuh tahun karya- karyanya dicetak dan diterbitkan oleh penerbit lain, Kho Ping Hoo memutuskan mendirikan sendiri penerbitannya,” kata Bunawan, menantu tertua Kho Ping Hoo.

Mula-mula, kata Bunawan, Kho Ping Hoo menerbitkan cerita silat pada 1958 melalui Penerbit Selecta Grup. Melihat besarnya minat pembaca bukubukunya, Kho Ping Hoo merintis usaha penerbitan sendiri. Ia mengarang, mencetak, menerbitkan dan memasarkan sendiri.

Tapi pada akhirnya Ping Hoo kewalahan dengan semakin membeludaknya penggemar buku- bukunya. Bunawan yang baru saja menikah dengan anak pertama dari istri pertama Kho Ping Hoo pun diminta mengurusnya sejak 1973. “Bapak konsentrasi mengarang,” ucapnya.

Gema mencetak setiap jilid yang baru diselesaikan pengarang kelahiran 1926 itu. Dari setiap judul ada puluhan jilid. Gema telah menerbitkan ratusan judul cerita silat. Bunawan mengenang, saat itu setiap jilid buku Kho Ping Hoo itu digemari. Ia menyebut persewaan buku dijubeli remaja-remaja yang berebut untuk meminjam buku seukuran notes tersebut.

Di masa jaya itu, Gema bisa mencetak lebih dari 10 ribu eksemplar untuk setiap jilid. Namun dengan berlalunya waktu, masa keemasan Kho Ping Hoo pun surut. Tapi toh itu tak memudarkan semangat Gema untuk terus mencetak dan menerbitkan ulang cerita silat yang beberapa di antaranya diangkat ke layar lebar tersebut.

“Ada 112 cerita silat Mandarin dan 25 cerita silat Indonesia serta beberapa roman yang terus diterbitkan ulang,” kata Bunawan. Menurut pria berusia 61 tahun ini, sampai sekarang kantornya masih sering mendapatkan order dari penggemar Kho Ping Hoo.

Dia mengaku paling sepi, dalam sepekan pasti ada 2- 4 orang yang memesan. Berbeda dengan masa jayanya, cerita silat Kho Ping Hoo kini diedarkan dalam bentuk set alias per judul hingga tamat. “Kalau dulu kan per jilid, sekarang kami menerbitkannya per set sehingga ada yang satu judul mencapai 60-an jilid,” ujarnya.

Meski demikian, Bunawan yang beberapa tahun ini dibantu oleh salah satu adik iparnya, Onkie Asmaraman, 47 tahun, masih tetap mempertahankan ciri khas buku Kho Pingho. Sampul muka dari kertas HVS dengan gambar tangan 1-2 warna.

Huruf yang dipilih pun tetap seperti mesin ketik meski sudah menggunakan komputer. “Pernah dicoba diterbitkan seperti novel, tapi para penggemar keberatan. Ya sudah, kami mengikut saja, daripada tidak laku,” katanya.

Buku terbitan ulang rata-rata dicetak 500 eksemplar setiap judul. Ini jumlah yang sedikit. Tapi menurut Bunawan, dengan jumlah sebesar itu Gema masih bisa memetik keuntungan. Setiap set (judul) dari seri 1 hingga tamat, Bunawan menjual dari harga yang termurah Rp 8.000 (Dendam Membara, 4 jilid) hingga Rp 124 ribu (Jodoh Rajawali, 62 jilid).

Dari ratusan judul buku cerita silat tersebut, serial Bu-Kek Sian- Su dengan 17 judul dan Siang Bhok Kiam (12 judul) merupakan best seller. Selain pesanan, buku-buku Kho Ping Hoo juga dijual melalui toko-toko buku, termasuk toko buku Gramedia dan Gunung Agung.

Menurut Bunawan, sampai saat ini Kho Ping Hoo masih memiliki banyak penggemar. “Rata-rata bapak-bapak berusia 40-an tahun. Mereka ini dulu semasa remaja menyenangi Kho Ping Hoo, tapi dilarang orangtuanya. Waktu itu kan baca cerita silat dianggap membuat orang jadi malas belajar.

Nah setelah tua mereka ingin membaca sekaligus mengoleksi,” tutur Bunawan. “Ada pemesan dari Jakarta yang bilang kalau dia ingin melampiaskan dendamnya karena waktu SMP tidak boleh baca Kho Ping Hoo.” Ia menceritakan, pernah ada seorang penggemar Kho Ping Hoo datang ke Mertokusuman No 761 untuk memborong hampir semua judul karya pengarang yang sudah 11 tahun lalu meninggal itu.

“Dia membeli sampai habis satu juta rupiah lebih,” ucap Bunawan yang juga menyebut bekas KSAD Jenderal (Purn) Subagyo sebagai penggemar yang memiliki koleksi lengkap. Di Amerika Serikat, kata Bunawan, juga ada Kho Ping Hoo Club yang secara periodik bertemu di salah satu rumah warga Indonesia yang memiliki koleksi lengkap. “Sering kok mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika Serikat, Belanda, Arab Saudi, dan Jepang memesan buku- bukunya agar dikirimkan ke sana,” katanya.

Dari sejak berdiri hingga sekarang, Gema hanya sebatas perusahaan penerbitan keluarga. Hasil keuntungan dari penjualan buku-buku Kho Ping Hoo pun dibagi rata setiap tahunnya kepada 12 anak Kho Ping Hoo dari 2 orang istrinya, Rosita dan Hartini yang kini masih hidup. Ya ndak ada royalti-royaltian. Setiap tahun keuntungan yang dikumpulkan dibagi bersama. Sederhana saja.”

Saat mendirikan Gema, KhoPing Hoo sebenarnya tak hanya ingin menerbitkan bukunya sendiri. Sejumlah karya pengarang cerita silat seperti Widi Widayat, Gator Riyo Purwanto, B. Permaidi HP juga diterbitkan Gema. “Tapi karena yang laku memang buku Kho Ping Hoo, mau ndak mau fokus utamanya ya ke situ. Kho Ping Hoo sendiri sebenarnya ingin mengangkat pengarang yang lain,” katanya.

Bunawan yakin selama penggemar cerita silat karangan mendiang mertuanya itu masih ada yang memburu, Gema pasti akan tetap ada. Dia merasa senang ketika sebuah media online membuat cerita Kho Ping Hoo secara bersambung. “Seperti diiklankan, padahal kami justru yang dibayar.”

imron rosyid

Dari : feidao.multiply.com

Rabu, 08 Desember 2010

Hasmi


Harya Suraminata
Harya Suryaminata yang dikenal dengan Hasmi (lahir di Yogyakarta, 25 Desember 1955; umur 54 tahun) adalah salah satu komikus dan penulis skenario terkenal di Indonesia. Karyanya yang dikenal adalah Gundala Putra Petir, seorang tokoh dalam komik Indonesia. Sebanyak 23 judul buku seri Gundala terbit antara 1969-1982. Tokoh Gundala ia ciptakan setelah Maza, yang telah lebih dulu muncul pada 1968. Petualangan Gundala berakhir pada 1982 dengan buku terakhir berjudul "Surat dari Akherat". Sempat muncul kembali sebagai komik strip di Jawa Pos pada 1988, namun tidak bertahan lama.

Pendidikan
Ia terbiasa menggambar sejak masih duduk di bangku SMP BOPKRI 1 Yogyakarta. Setelah lulus SMA, Hasmi awalnya bercita-cita menjadi insinyur, namun ia gagal melewati tes masuk teknik UGM. Pada tahun 1967 Ia mendaftar di Akademi Seni Rupa Indonesia, namun masa kuliahnya di ASRI hanya bertahan dua tahun dan berakhir pada 1968. Ia memutuskan untuk keluar karena waktunya habis tersita untuk serial Gundala yang sangat digemari kala itu. Pada 1971, Hasmi kuliah lagi di Akademi Bahasa Asing pada jurusan bahasa Inggris dan lulus pada tahun 1974. Pernah menjadi salah satu murid kesayangan dari perguruan BIMA (Budaya Indonesia Mataram), tetapi memutuskan untuk tidak aktif karena kesibukannya menggambar.

Film
Setelah Gundala Putera Petir tidak terbit, Hasmi banting setir menjadi penulis skenario, bahkan bintang tamu di sinetron. Sejumlah skenario film yang pernah ditulisnya antara lain Kelabang Sewu (disutradari Imam Tantowi), Lorong Sesat, Harta Karun Rawa Jagitan, dan beberapa film lainnya. Selain itu, ia aktif menulis skenario untuk acara ketoprak di TVRI Yogyakarta. Hasmi juga adalah penulis paling produktif di teater Stemka untuk acara televisi (Yogyakarta)

Dari : id.wikipedia.org

Harya Suryaminata "Gundala Putra Petir" di Gang Sempit




Hasmi atau Harya Suryaminata
Ibarat gelas berukuran kecil, kebahagiaan Harya Suryaminata begitu mudah terisi penuh dan meluber. Kebahagiaan itu hadir dari hal-hal yang relatif sederhana. Di rumahnya, di ujung gang buntu daerah Karangwaru, Yogyakarta—pencipta tokoh komik ”superhero” asli Yogyakarta, Gundala Putra Petir—itu bercerita tentang hidupnya.
Merekalah sumber kebahagiaan saya,” katanya tentang keluarganya. Terlahir dengan nama Isman Surasa Dharmaputra, orangtuanya lalu mengganti namanya karena dia sering sakit. Orangtuanya percaya, anak mereka sering sakit karena keberatan nama. Maka, di dunia komik dia lebih dikenal dengan nama Hasmi. Sementara di kalangan sahabat dia sering disapa Nemo.
Sejak tak aktif lagi membuat komik, Hasmi menggunakan waktunya untuk mengurusi keluarga. Setiap pagi dia ikut menyiapkan keperluan dua putrinya, Sekar Dewangga (12) dan Ainun Anggita Mukti (6), untuk ke sekolah.
Hasmi membesarkan keluarganya dalam kesederhanaan. Meski karyanya Gundala Putra Petir menjadi salah satu komik lokal terkenal dalam sejarah komik Indonesia, hidup mereka jauh dari kemakmuran. Royalti dari komik dan film tak membuat dia kaya. Dia kerap berjalan kaki atau bersepeda bila pergi ke suatu tempat.
Penghargaan terhadap komikus rupanya masih memprihatinkan. Komik belum dihargai sebagai karya seni sehingga bayaran pembuat komik atau ilustrasi di Indonesia relatif tak seberapa. Namun, Hasmi tak merisaukan hidupnya yang sederhana. Menurut dia, kepuasan itu muncul kala dia bisa menghasilkan karya, berapa pun imbalannya.
Di atas semua itu keluarga bagi dia adalah impian yang semula sulit diwujudkan. Beberapa kali gagal menikah, Hasmi baru menikah saat usianya berkepala lima. Istrinya, Mujiyati (40), semula adalah salah satu ”anak asuhnya”.
Dia mempunyai beberapa anak asuh karena kecintaannya kepada anak-anak. Mereka jugalah yang sejak lama tergabung dalam Anak-anak Gundala atau Gundala’s Kids. Sampai kini saat anak-anak tersebut telah dewasa, mereka tetap suka mengunjungi rumahnya di ujung gang sempit itu.
Hasmi aktif membuat komik tahun 1968-1995. Di ruang tamunya masih ada meja gambar meski dia tak lagi sering menggunakannya. Hanya sesekali ia menggambar, itu pun kalau ada pesanan.

Usia yang tak lagi muda membuat staminanya untuk menggambar jauh berkurang. ”Waktu masih membuat Gundala dalam sehari saya bisa menggambar lima lembar komik. Kini, untuk satu lembar saja, butuh waktu seharian,” katanya.
Mengangkat lokalitas
Meski kemampuannya menggambar relatif terbatas, ide untuk mengangkat nilai-nilai lokal dalam komik tetap tak terbendung. Dengan bersemangat, dia menceritakan komik terbarunya, pesanan seorang dosen yang punya perhatian terhadap kebudayaan Jawa.
Berlatar belakang masa Kerajaan Singasari sampai pilkada pada era reformasi, 13 halaman komik itu berkisah tentang sebilah keris ”haus kuasa”. Alkisah, Jahubang memesan keris kepada seorang empu. Ketika keris selesai dikerjakan, sang empu mengatakan, keris itu bisa membantu pemegangnya menduduki jabatan. Syaratnya, keris tak boleh terlumuri darah.
Namun, hasrat ingin berkuasa telah membuat sang pemilik melanggar pantangan sang empu. Jahubang menggunakan keris itu untuk membunuh sang empu pembuatnya. Begitu pantangan dilanggar, keris pun berubah menjadi benda yang membawa kematian pemegangnya.
Dari zaman Singasari, keris terus beralih kepemilikan sampai zaman Majapahit, lalu perang Giyanti pada penjajahan Belanda, hingga era reformasi. Tragedi terus-menerus berulang, keris selalu membunuh pemiliknya yang haus kuasa.

Pada zaman modern keris haus darah itu dimiliki calon bupati yang ingin menang pilkada dengan ijazah palsu. Bupati haus kuasa itu menuai kemarahan masyarakat. Di tengah unjuk rasa, keris pun beraksi, meminta korban. Di bagian akhir kisah keris berada di tangan penjual barang bekas (klithikan) di Yogyakarta.
Lewat komik dari penerbit lokal Yogyakarta ini, Hasmi mengkritik sifat manusia yang haus kekuasaan, sampai rela menghalalkan segala cara.
”Sebenarnya keris itu tak bertuah, tetapi pemiliknya yang berulah,” katanya.
Komik juga menjadi media Hasmi untuk mengenalkan (kembali) keris kepada masyarakat. Saat membuat komik dia banyak membaca buku tentang keris dan berkonsultasi pada ahlinya.
Lewat komik ini, Hasmi juga ingin mendorong para komikus muda untuk menggali nilai-nilai lokal. Dia prihatin melihat kondisi perkomikan Indonesia yang didominasi komik Jepang. Padahal, dengan sedikit imajinasi, cerita-cerita tradisional bisa diramu menjadi komik yang tak kalah seru dibandingkan dengan komik Jepang.

Malioboro di Gundala
Hasmi selalu mengangkat nilai lokal dalam karyanya. Gundala Putra Petir, misalnya, terinspirasi tokoh Jawa, Ki Ageng Selo, yang punya kesaktian menangkap petir. Sedangkan kostum Gundala diambilnya dari tokoh komik Flash Gordon. Ia juga memasukkan tukang becak Malioboro dan suasana Yogya dalam komiknya.
Di tangan Hasmi tema-tema lokal bersaing dengan komik produk asing yang saat itu juga banyak beredar. Meski dia pun memendam kekecewaan atas karyanya. Tak satu pun naskah asli dari 23 komik Gundala Putra Petir yang masih ada. Naskah-naskah itu hilang setelah diserahkan kepada penerbit.
Kondisi ini membuat serial komik Gundala Putra Petir sulit diterbitkan lagi. Penerbitan ulang beberapa judul Gundala Putra Petir beberapa waktu lalu terpaksa dilakukan dengan memindai ulang setiap halaman komik lama yang telah diterbitkan.
”Baru sekarang saya menyesal, mengapa saat itu tidak meminta lagi naskah aslinya pada penerbit. Tak mungkin saya menggambarnya lagi,” katanya.
Setelah tak lagi banyak membuat komik, Hasmi sering menyalurkan daya kreatifnya di dunia teater dan seni pertunjukan. Beberapa kali dia menulis naskah dan menyutradarai pertunjukan teater atau boneka.

September lalu, misalnya, dia menjadi sutradara pementasan Teater Stemka. Hasmi juga banyak melayani para komikus muda yang ingin menimba ilmu dari dia. Kepada para komikus muda itu, Hasmi senantiasa mengingatkan agar menggali kelokalan.

***
Harya Suryaminata

• Nama lain: Hasmi
• Lahir: 25 Desember 1946

• Sekolah:
- SD Ngupasan 2 Yogyakarta
- SMP Bopkri I Yogyakarta
- SMA Bopkri I Yogyakarta
- Akademi Seni Rupa Indonesia, dua tahun, tak lulus
- Jurusan Bahasa Inggris, Akademi Bahasa Asing Jogja

• Istri: Mujiyati

• Anak:
- Sekar Dewangga (12)
- Ainun Anggita Mukti (6)

Irene Sarwindaningrum
Dari : regional.kompas.com

Godam Beraksi Sampai Mati


SEPEKAN menjelang fajar tahun baru 2004, Rumah Budaya Tembi, di Bantul, Yogyakarta, menggelar pameran komik. Tak tanggung-tanggung, pameran berlangsung tiga minggu sampai 17 Januari 2004. Beberapa peminat komik masa kini mungkin masih ingat komikus Widodo Nur Slamet, yang lebih dikenal sebagai Wid N.S. Itu sebabnya karyanya digelar untuk mengingat kejayaan industri komik lokal di era 1970-an hingga 1980-an. Ketika itulah sejumlah nama komikus muncul: Yan Mintaraga, Teguh Santoso, Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Hans Jala-Jala (Panji Tengkorak), Hasmi (Gundala Putra Petir).

Tragisnya, beberapa jam sebelum pameran dibuka, Wid N.S. meninggal pada usia 65 tahun. Tak salah jika disebut Almarhum merupakan sisa komikus di era itu yang masih berkarya-hingga akhir hayat-justru ketika komik lokal tersapu bersih oleh komik impor. Tak kurang dari 25 lembar karya Wid N.S. yang dilukis di kertas ukuran HVS dipamerkan, beberapa di antaranya karya asli. "Memang tak banyak karya asli Mas Wid yang masih tersisa," ujar Ons Untoro, koordinator Rumah Budaya Tembi. Hanya ada beberapa lembar karya seri Godam. Selebihnya karya pasca-1980-an yang umumnya komik strip untuk koran. Untung masih ada beberapa buku komik seri Godam-meski sudah kusam dan tak lengkap-yang dipa- merkan dalam kotak kaca, seperti Tirani Biru di Negeri Godam, Black Magic, Sang Kolektor, Bocah Atlantis, Mentjari Djedjak Majat, Doctor Setan, Mata Sinar X Godam.

Almarhum dikenal terutama berkat seri si Godam. Bacalah, misalnya, gayanya dalam Godam, Doctor Setan: "He! Aku mendengar tembakan tiga kali! Berarti Profesor dan jang lainnja ada dalam bahaja. Aku harus menolongnja! Akan kupakai tjintjin adjaib ini!" Bimsalabim, ketika Awang menyorongkan cincin ke jari manis asap tebal segera menyelimuti tubuhnya. Saat asap lenyap, bukan Awang lagi jang berdiri disitu, melainkan djagoan kita jang cukup menggemparkan dunia: GODAM!

Awang adalah pemuda sopir truk jarak jauh yang menjelma jadi pahlawan pemberantas kejahatan. Ia muncul dengan baju besi berlogo G berbentuk segitiga bersayap. Baju besi itu membuat Godam kebal peluru, tenaganya pun berlipat ganda. Tinju berbalut sarung tangan mengepal bertenaga godam, kaki kukuh ber- sepatu bot nyaris menyentuh dengkul, jubah licin kaku. Jubah yang terbuat dari bendera pusaka suku Zelu itu membuat tubuh Godam seringan kapas hingga mampu melesat mengejar pesawat jet.

Ketika diciptakan pada 1969, Godam menjadi "bacaan wajib" para remaja saat itu. Ketika itu di Amerika Serikat orang sedang demam Superman. "Mas Wid menciptakan Godam, saya menciptakan Gundala Putra Petir," ujar komikus Hasmi, sobat Almarhum. Wid N.S. memang piawai melambungkan fantasi pembaca dengan memasukkan aspek ilmu dan teknologi. Godam, misalnya, dipertemukan dengan penduduk benua yang hilang Atlantis dalam seri Aquanus; meluncur dengan roket ke planet Thalezer; bentrok dengan Doctor Setan, si pencipta robot.

Mula-mula Wid N.S. menciptakan tokoh Aquanus, si manusia air, pada 1969. Namun, sukses baru ia raih setelah si Godam lahir. Dengan judul berbeda, komik Godam yang diterbitkan beberapa seri laku keras. Meski terinspirasi oleh tokoh Superman, Godam adalah rekaan asli Wid N.S. Tokoh Awang mendapat kesaktian lewat "tjintjin adjaib" pemberian "roch sutji" berupa orang tua berpakaian serba putih. Sedjak dia mempunjai tjintjin adjaib itu, dia (Awang) sangat ditakuti pendjahat, karena dimana kedjahatan timbul Godam selalu menumpasnya, demikian ditulis Wid N.S. dalam seri Doctor Setan.

Godam muncul dengan sosok tubuh berciri Asia. Rahangnya persegi, mulut agak lebar, ototnya tak menonjol berlebihan. Awalnya, Godam tak mengenakan celana pendek ketat, sarung tangan, dan sepatu bot. Dalam seri Tirani Biru di Negeri Godam, misalnya, tokoh populer itu hanya mengenakan cawat dan sepatu bertali tanpa sarung tangan. "Inilah Godam yang berciri Melayu," ujar Wid N.S. sebagaimana dituturkan oleh komikus Hasmi.

Zaman berputar, selera konsumen komik pun berubah. Mereka tak lagi tertarik adegan baku silat yang pernah jadi pakem komik Indonesia. Juga tak bersemangat menikmati komik cerita sejarah karya Wid N.S. macam Perang Diponegoro. Semuanya dilibas komik impor. Maka, satu per satu komikus lokal tumbang. Atau beralih profesi. Tapi Wid N.S. bertahan. Bahkan hingga akhir hayatnya, beberapa jam sebelum pameran retrospeksinya dibuka.

Raihul Fadjri

Dari : majalah.tempointeraktif.com
Gambar dari : http://alvablue.wordpress.com/

Wid Ns


Nama Lahir : Widodo Noor Slamet
Lahir : 22 November 1938
Meninggal : 26 Desember 2003,Yogyakarta, Indonesia
Pekerjaan : Seniman
Pasangan : Suradinah
Anak : Hayuning Dewi Darjati, Fajar Sungging Pramodito, Prasidani Lintang Satiti, Anggoro Purnomosidi

Widodo Noor Slamet
Widodo Noor Slamet yang populer dengan nama Wid NS lahir di Yogyakarta, 22 November 1938 – meninggal di Yogyakarta, 26 Desember 2003 pada umur 65 tahun) adalah pencipta tokoh komik Godam. Komik Godam diciptakan oleh Wid NS dalam kurun waktu 1969-1980 sebanyak 15 judul komik Godam. Komik Godam terakhir yang seharusnya menjadi komik ke 16 yang berjudul "Ujian Buat Awang" belum terselesaikan karena kesehatan yang terganggu sampai beliau meninggal tahun pada tahun 2003.
Selain mencipta Godam, Wid NS juga menciptakan tokoh komik Aquanus pada tahun 1968. Karakter komik lain yang diciptakannya adalah Kapten Dahana.

Sebelum komik
Wid NS adalah Seniman otodidak yang "cuma" lulus SMP Negeri II Yogyakarta pada 1956 itu tidak menamatkan pendidikan lanjutannya di SMA PPK Yogyakarta. Wid pertama kali bekerja formal pada Jawatan Penerangan Bengkulu. Pernah pula bekerja di majalah Hai dan Bobo pada 1981. Selanjutnya, ia bekerja di TVRI Yogyakarta sebagai penulis skenario sandiwara. Selaras dan bakatnya membawanya ke dunia komik mulai tahun 1968. Komiknya yang pertama dibayar Rp. 7.500.

Studio Savicap
Wid NS dan Hasmi yang sudah saling mengenal sejak 1963 mempunyai selera yang sama pada fiksi ilmiah dan superhero. Mereka sering saling meminjamkan karakter komik dan cerita komik yang mereka ciptakan. Rumahnya di Yogyakarta berfungsi sebagai studio yang mereka namakan Studio Savicap. Savicap adalah kepanjangan Sagitarius, Virgo dan Capricornus. Tiga buah rasi bintang yang dimiliki oleh Pak Wid NS, Pak Hasmi dan seorang temannya

Seniman serba bisa
Wid NS menguasai banyak cabang kesenian seperti seni patung, relief, murel, seni lukis, teater, musik, lawak dan beberapa kesenian tradisional.
Wid NS selau berusaha manampilkan sosok yang lebih natural dalam karya-karyanya. Godam yang beraksi di Indonesia digambarkan sebagai orang Asia. Kendaraan, bangunan sangat jelas konstruksinya. Kemampuan dalam bertutur bisa menampilkan humor maupun suspense.
Wid NS selain meciptakan komik superhero seperti Godam, juga menciptakan komik silat maupun horor seperti "Anjing Setan de La Rosa" dan "Pengantin Rumah Kubur". Karya-karyanya juga banyak dimuat di majalah-majalah anak Ananda seperti "Azis". Penerbit komik Misurind menerbitkan komik sejarah "Ken Arok", selain itu pernah bersama-sama komikus Indonesia yang lain Hasmi, Djoni Andrean, Hasyim Katamsi dan Marsoedi membuat komik tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 berjudul "Merebut Kota Perjuangan" pada tahun 1983.

Berkarya sampai akhir hayat
Beliau meninggal saat pembukaan “Pameran Ilustrasi Komik” karyanya di Balai Roepa Tembi, Yogyakarta yang diselenggarakan dari 26 Desember 2003 sampai 17 Januari 2004.
Di galeri yang terletak di desa Timbul Harjo, kecamatan Sewon, Bantul, Godam hadir bersama beberapa tokoh lain dalam Pameran Ilustrasi Komik karya Wid NS. Di antaranya Azis, anak cerdas yang kerap muncul di majalah Ananda pada 1980-an, Nyi Ageng Serang, Bocah Antlantis, hingga Ken Arok. Total karya yang dipamerkan, 30 ilustrasi dan 25 jilid komik terbitan 1968-1995.
Wid meninggal di rumahnya yang sederhana di perumahan Bale Asri, Wates, sekitar 10 kilometer arah barat Yogyakarta. Ia meninggalkan Suradinah, istrinya, empat anak --Hayuning Dewi Darjati, Fajar Sungging Pramodito, Prasidani Lintang Satiti, dan Anggoro Purnomosidi-- serta tiga cucu. "Saat meninggal, Bapak baru saja menyelesaikan lukisan potret dirinya," kata Sungging. Bahkan, tangan Wid pun masih berlumuran cat.
Putra Wid NS, Fajar Sungging Pramodito pada tahun 2006 menciptakan komik Godam Reborn yang merupakan usaha menghidupkan kembali tokoh Godam.

Dari : id.wikipedia.org

Selasa, 16 November 2010

Hasmi Sang Pencipta Gundala

MEMBICARAKAN kejayaan komik lokal di era tahun 1970-an, tentu kita tak bisa melepaskan ingatan kepada sosok-sosok superhero Nusantara, di antaranya adalah Gundala, si putra petir. Dan kalau ingat Gundala pasti segera ingat pengarangnya, yakni Harya Suraminata atau lebih dikenal dengan nama Hasmi. Baru-baru ini Penerbit Bumi Langit menerbitkan kembali komik pertama Gundala Putra Petir ini. Dan, tampaknya buku tentang asal-usul Gundala ini disambut antusias penyukanya. Gundala sebenarnya adalah pemuda Sancaka, seorang ilmuwan yang menemukan serum kebal petir. Karena frustrasi ditinggal pacarnya, Minarti, Sancaka merusak penemuannya. Dalam gelap malam dan hujan lebat, dia berlari ke batas kota. Sebuah petir menyambarnya dan mengangkatnya ke langit. Dia terlempar ke hadapan Kaisar Cronz, yang kemudian mengubahnya menjadi Gundala. Tapak tangannya bisa mengeluarkan petir dan mampu berlari secepat kilat.

Ada semacam nostalgia bagi para penggemar yang pada era itu tumbuh besar berbarengan dengan masa kejayaan komik-komik lokal. Ingatan kemudian membayangkan sepak terjang Gundala bersama-sama Godam, Maza, Pangeran Mlaar, Aquanus, Labah-labah Merah membasmi berbagai kejahatan.

Dengan karya seri Gundala sebanyak 23 judul yang diciptakan antara tahun 1969 dan 1982, Hasmi telah menorehkan fenomena yang terus diingat penggemarnya. Seluruh karya Hasmi itu akan diterbitkan ulang oleh Bumi Langit. "Tapi untuk seri The Trouble dan Bentrok Jago-jago Dunia tidak bisa karena berkaitan dengan hak cipta," kata Hasmi (58) di rumahnya yang sederhana di sebuah gang di Jalan Magelang Km 4 Yogyakarta.

Maklum dalam dua judul itu Gundala dikisahkan bertemu dengan Superman, Batman, dan superhero dunia lainnya. Namun momentum penerbitannya kembali terasa pas benar dengan banyaknya tokoh superhero yang diangkat ke layar lebar, di antaranya Batman Begins, Superman, Fantastic Four, dan Spiderman. "Di Yogya memang penerbitan kembali Gundala disebut penerbitan nostalgia," kata Hasmi.

Dalam perbincangan santai dengannya, Hasmi bercerita tentang pengerjaan Gundala edisi ulang ini dan juga rencananya menghadapi selera pasar yang sudah berubah. Pasar komik sekarang memang lebih banyak dikuasai komik Jepang (manga) dan juga kartun Jepang (anime).

Perlu Prahara

Bagaimana Anda melihat peluang komik lokal untuk bangkit kembali?

Memang harus diakui, sekarang sedang terjadi "badai" manga. Kalau ingin komik lokal kembali disukai pembacanya ya harus dibikin "prahara". Nah untuk kerja semacam ini perlu orang-orang yang peduli, karena bisnis komik modalnya harus besar tapi untungnya sedikit.

Nah Penerbit Bumi Langit bercita-cita menerbitkan kembali semua karakter ciptaan saya, yakni Gundala, Maza, Jin Cartuby, Pangeran Mlaar, Merpati, Kalong, dan Sembrani.

Tapi apakah cukup untuk menjadikan komik Indonesia berjaya kembali?

Memang usaha yang dilakukan harus kontinu. Tidak bisa hanya seperti orang meludah dalam banjir. Pasti hilang. Itulah sebabnya saya sangat senang terhadap adanya lembaga seperti Komik Indonesia. Itu kumpulan para penggemar komik lokal yang sekarang kebanyakan sudah pada mapan. Jadi, bisa intens memberikan perhatian pada perkembangan komik lokal.

Apa pengaruhnya buat para komikus lawas?

Terus terang para komikus senior senang, karena ada harapan semua karakter ciptaan mereka bisa diterbitkan ulang.

Soal Gundala edisi ulang ini?

Saya memang tidak punya masternya. Jadi, ini komik lama yang discan, terus diperbaiki dalam narasinya. Soalnya kan dulu masih pakai ejaan lama (pengerjaan touch-up naskah dilakukan tim Bumi Langit, yakni Andy Wijaya, Iwan Gunawan, Surjorimba Suroto, Syamsudin, dan Toni Masdiono.) Ini juga menyiratkan Gundala menjadi sebuah kerja tim. Dan, saya ke depan tetap berperan utama dalam penampilan fisik Gundala. Dulu honornya hanya cukup untuk sendiri. Jadi, mulai sket, gambar, cover, dan cerita dikerjakan sendiri.

Dulu ide karakter Gundala dari mana?

Saya memang terpengaruh genre superhero dunia saat itu. Tapi filosofi power-nya yang berupa petir itu saya ambilkan dari tokoh legenda Ki Ageng Selo yang diceritakan bisa menangkap petir. Sementara bentuk fisik Gundala, saya meniru The Flash.

Tetapi kan ada yang khas dengan seluruh seri Gundala ini.

Memang, dulu sampai sekarang yang diingat itu adalah cerita dan adegan kocak yang khas bagi superhero lokal. Jadi, bisa saja Gundala investigasi sampai ke planet-planet lain, tetapi suatu ketika juga bisa menanyai tukang becak di Malioboro. Nah ramuan lokal yang kocak inilah yang bikin Gundala diterima pembacanya. Dialog-dialog dengan sahabatnya, Nemo, juga khas Yogyakartanan.

Kayaknya yang paling rame dan paling dikenang adalah seri Gundala Bentrok Jago-jago Dunia?

Hahaha zaman dulu kami memang buta atau tepatnya membabibuta. Pokoknya ingin bikin sensasi. Makanya Gundala ditarungkan melawan Superman, Batman, Thor, dan lain-lain. Tidak sadar kalau itu tindakan kriminal, karena memakai karakter ciptaan orang lain tanpa izin. Untuk terbitan ulang ini nanti kayaknya judul itu tidak dicetak karena berkaitan dengan hak cipta.

Wajah Nemo, sahabat Gundala, kok kayak Anda ya?

Nemo itu memang cerminan diri saya dan itu juga nama panggilan saya. Itu kayak sahabat Godam, yakni Nur Slamet yang merupakan kepanjangan dari nama pengarangnya, Wied NS atau Wied Nur Slamet. Selain itu dulu saya suka memasukkan profil rekan-rekan ke dalam komik sebagai figuran hehehe. (Dalam sebuah cerita Gundala dikisahkan menengok latihan Teater Stemka Yogya dan diperkenalkan kepada sutradaranya. "Ini, kenalkan, Mas Landung". Dan, Hasmi memang menggambar profil dramawan Yogya, Landung Simatupang).

Ke depan, apa yang akan Anda lakukan dengan Gundala ini?

Sekarang pasar memang sedang dikuasai komik Jepang. Nah kalau ingin menerbitkan Gundala dengan seri baru, harus ada pembaruan di karakter Gundala ini. Saya dan Penerbit Bumi Langit akan mengadakan angket untuk melihat respons pembaruan Gundala ini. Kami ingin membangkitkan karakter Gundala supaya lebih ngotani. Tidak terlalu ndesa.

Ini masih kemungkinan lo, mungkin saya akan bikin Gundala menghadapi krisis, lalu dia koma. Dan muncul kembali dengan kostum baru. Ini hampir sama dengan perubahan kostum Batman maupun Superman yang terus diperbarui penampilannya.

Seri Gundala

Selain Gundala Putra Petir (Kentjana Agung,1969), judul seri selanjutnya adalah Perhitungan di Planet Covox (1969). Di sini Gundala bertemu dengan Pangeran Mlaar, yang memiliki tubuh bisa melentur. Mlaar adalah putra mahkota yang terkudeta. Gundala membantu mengembalikan tahtanya. Persahabatan itu membuat Mlaar jadi sering main ke Yogyakarta.

Judul berikutnya adalah Dokumen Candi Hantu (1969), yang merupakan pemunculan pertama musuh bebuyutan Gundala, yakni Ghazul. Lalu Operasi Goa Siluman (1969), The Trouble (1969), Tantangan buat Gundala (1969), Panik (1970), Kunci Petaka (1970).

Kemudian dalam Godam vs Gundala (Prashida, 1971) dikisahkan Gundala dan Godam tanpa sengaja tertukar kostum dan kekuatan super masing-masing. Masing-masing saling menuduh mereka palsu dan terjadilah perkelahian luar biasa. Warga Yogya yang menonton jadi bingung, kedua superhero itu kok bertarung. "Mungkin mereka berebut pacar," komentar seseorang.

Setelah mengadu pada pencipta masing-masing, mereka akhirnya bisa balik normal kembali. Kemudian Gudala juga hadir dalam Bentrok Jago-jago Dunia (Prashida, 1971), Gundala Jatuh Cinta (1972), Bernapas dalam Lumpur (1973), Gundala Cuci Nama (1974), 1.000 Pendekar (1974), Dr Jaka dan Ki Wilawuk (1975), Gundala sampai Ajal (1976).

Dalam Pangkalan Pemusnah Bumi (1977), Gundala diceritakan bertemu untuk pertama kali dengan calon istrinya. Kemudian berikutnya terbit Pengantin buat Gundala (1977), Bulan Madu di Planet Kuning (1978), Lembah Tanah Kudus (1979), Gundala Sang Senapati (1979), Istana Pelari (1980), dan terakhir Surat dari Akherat (1982).

Yang menarik kisah-kisah Gundala terkadang merupakan cerminan kisah hidup Hasmi. Dalam Gundala Jatuh Cinta digambarkan cinta Sancaka kepada Cakti, mahasiswi semester 2 ABA, anak kos asal Pasuruan Jatim. Namun Cakti menolak cintanya, sehingga Sancaka patah hati dan limbung. "Hahaha itu refleksi kegagalan cinta saya," kata Hasmi.

Dalam Pengantin buat Gundala maunya Hasmi yang lahir 25 Desember 1946 ini mencurahkan keinginannya untuk segera kawin. Tetapi ternyata jodohnya baru diberikan Tuhan dua tahun lalu. "Saya menikah sudah kepala lima," katanya. (Bagas Pratomo-46t)



Hasmi 2009 (JawaPos)
Lalu adakah yang kenal dengan Hasmi alias Harya Suryaminata? Dialah pencipta Gundala. Inilah cuplikan cerita sang kreator yang saya comot dari sana-sini.

Hasmi dilahirkan 25 Desember 1946 (62 tahun) di Yogya. Sekarang masih tinggal di sebuah gang sempit di kawasan Karangwaru Lor, Yogya. Sama seperti tahun 1969 waktu pertama kali menciptakan Gundala. Pendidikan formalnya bukan di gambar-menggambar tetapi lulusan Bahasa Inggris ABA Yogya. Lama membujang baru menikah tahun 2003, kala usia mencapai 50-an. Memiliki 2 anak Batari Sekar Dewangga (10) dan Ainun Anggita Mukti (4). Dua buah komik Gundala, dilatarbelakangi kegagalan dan asa cintanya, yaitu Gundala Jatuh Cinta (1972) dan Pengantin Buat Gundala (1977). Saat ini bekerja sebagai komikus lepas, editor, ilustrator, dan penulis skenario bagi beberapa program TV dan teater. Selain itu namanya masih tercantum sebagai art manager PT Bumi Langit.

Setelah lama tidak terdengar, tahun 2005 agak sering diberitakan media karena rencana Penerbit PT Bumi Langit menerbitkan ulang semua karya Gundala yang mencapai 23 buku. Dan tahun 2009 ini sehubungan dengan rencana peringatan 40 tahun Gundala dan pembuatan film Gundala The Movie.

Ada beberapa fakta menarik yang berhasil saya kumpulkan mengenai Gundala dan Hasmi:
1. Gagasan Gundala diinspirasi oleh tokoh komik The Flash yan dipadukan dengan cerita legenda Ki Ageng Selo.
2. Tokoh Nemo di komik Gundala adalah cerminan Hasmi. Kebetulan Nemo adalah nama panggilannya.
3. Pengakuan terakhir Hasmi, Gundala adalah seorang insinyur bukan peneliti, dosen sebagaimana yang disebutkan di Wikipedia. Ini mungkin ada hubungannya dengan cita-citanya yang gagal menjadi seorang insinyur karena gagal masuk UGM.
4. Dalam Gundala The Movie yang akan masuk bioskop bulan Juni 2009, Gundala diceritakan sebagai arkeolog. Dalam hal ini nampaknya Hasmi keberatan. Rencana film ini nampaknya menjadi tidak jelas sesuai konfirmasi terakhir Hasmi (12/3) ke Jawa Pos. Apa yang ada di Facebook bukan resmi dari Bumi Langit tetapi merupakan inisiatif para penggemar Gundala.
5. Saat ini dia sedang sibuk menyiapkan edisi 40 Tahun Gundala bersama tim dari Bumi Langit yang rencananya diterbitkan September, sesuai kelahiran Gundala.


Gundala Putera Petir (1969)

Komigrafi Gundala:
1. Gundala Putera Petir (UP Kentjana Agung, 1969)
2. Perhitungan di Planet Covox (UP Kentjana Agung,1969)
3. Dokumen Candi Hantu (UP Kentjana Agung,1969)
4. Operasi Goa Siluman (UP Kentjana Agung,1969)
5. The Trouble (UP Kentjana Agung,1969)
6. Tantangan buat Gundala (UP Kentjana Agung,1969)
7. Panik (UP Kentjana Agung,1970).
8. Kuntji Petaka (UP Prasidha,1970).
9. Godam vs Gundala (UP Prasidha,1971)
10. Bentrok Jago-jago Dunia (UP Prasidha,1971)
11. Gundala Jatuh Cinta (UP Prasidha,1972).
12. Bernafas dalam Lumpur (UP Prasidha,1973)
13. Gundala Cuci Nama (UP Prasidha,1974)
14. 1000 Pendekar (UP Prasidha,1974)
15. Dr. Jaka dan Ki Wilawuk (UP Prasidha,1975)
16. Gundala sampai Ajal (UP Prasidha,1976)
17. Pangkalan Pemunah Bumi (UP Prasidha,1977)
18. Penganten buat Gundala (UP Prasidha,1977)
19. Bulan Madu di Planet Kuning (UP Prasidha,1978)
20. Lembah Tanah Kudus (UP Prasidha,1979)
21. Gundala Sang Senapati (UP Prasidha,1979)
22. Istana Pelangi (UP Prasidha,1980)
23. Surat dari Akherat (UP Prasidha,1982)

Semuanya diterbitkan ulang oleh PT Bumi Langit, kecuali Bentrok Jago-jago Dunia karena masalah hak cipta.

Tahun 1988, Gundala pernah muncul di Jawa Pos sebagai komik strip.

Filmografi:
1. Gundala Putra Petir (1981, Teddy Purba sebagai Gundala, Sutradara Lilik Sudjio).
2. Gundala The Movie (rencana Juni 2009, Sandy Mahesa sebagai Gundala, Sutradara Alex J. Simal, Produksi Langit Bumi Pictures).

Fan Made Komik:
1. Gundala The Reborn (1999, Adurahman Saleh)
2. Putra Petir (2001, Riri Dewi)
3. Sancaka (2005, Ahmad Ilyas)
4. Gundala (2005, Asrulloh)

Kita tunggu kehadiran Gundala Edisi 40 Tahun dan [mungkin] The Movie-ny

Sumber:suara merdeka
Kamis, 21 Juli 2005

Selasa, 16 Maret 2010

ERWAN SOFYAN SANG KOLEKTOR CERITA SILAT





Ini tulisan yang dibuat oleh mas Tommy Johan Agusta dari Bali, seorang kolektor buku cerita silat dan komik terkenal. Tulisannya tentang seorang Erwan Sofyan, kolektor pecinta buku cerita silat di Jakarta. Tulisan ini menambah wawasan kita, betapa untuk sebuah hobi seseorang bisa menekuni dan mengoleksi sesuatu hingga : "luar biasa". Apapun itu hobinya, entah buku, dokumen, rokok, kaleng, kalender, jam weker, yang berukuran kecil dan murah harganya, hingga perabot rumah tangga dari kayu yang besar ukurannya serta mahal harganya. Marilah kita simak tulisan mas Tommy berikut ini :

Setelah bermalam di rumah Cak Marto, maka kaki pun melangkah untuk disibukkan dengan rutinitas kantor yaitu meeting tresno hehehe. Artinya Si Trisno di Piting biar kayak Kepiting. Kebetulan nanti sore sudah berjanji bertemu di Pluz+ Plaza Semanggi dengan Mas Andy Wijaya dari KomikIndonesia, Mas Erwin Prima, maupun Mas Ginardi. Sehingga pikiran juga jadi nggak fokus dan kepingin sang waktu segera berputar cepat.
Kemudian tiba-tiba ada sms masuk, ternyata dari Mas Ginardi yang mengatakan bahwa nanti sore tidak bisa ketemu karena masih terjebak macet di dekat Kantor DPR.

Singkat cerita waktu sudah pukul 16.00 wita, segera angkat tas rangsel andalan dan pesen taxi. Meluncur ke Pluz+. Tiba di Lantai 2, welah dalah ternyata Toko Pluz+ malah tutup. Daripada bengong saya manfaatkan untuk berkeliling diseputaran lantai 2 yang memang banyak toko buku. Tiba-tiba teringat di Lantai 5 kayaknya ada XXI. Segera menuju ke sana, ketika melihat jadwal film yang diputar, salah satunya adalah CONFUSIUS dengan bintanya CHOU YUN FA. Dengan rangsel di punggung, maka nontonlah aku.... Keren sekali film ini. Sayang aku lupa Nama-nama kerajaan di zaman itu, kayaknya ada Kerajaan LU segala dech.

Malamnya segera ke hotel di seputaran Senen, dan pagi2 kembali ke aktivitas piting-pitingan. Tiba-tiba teringat kawan sesama penggemar Cerita Silat. Yang ini sih kategorinya "SENIOR". Di kalangan Kang Ouw, si boss ini dapat dikatakan sebagai Kamus Berjalan. Cerita Silat Mandarin sudah habis dilalap bagai sayuran nasi pecel. Maka ku sms, bahwa saya di Jkt dan nanti malam segera balik ke Dps.

Pak Erwan yang kebetulan sedang berada di Mangga Dua, lumayan dekat dengan Senin. Segera nelpun agar jangan lama-lama ke sananya, karena mau sekalian diajak ke Tangerang. Lho ke Tangerang? Ngapain boss? Kata saya bingung. Belum pernah ke Anton Anelinda kan? Kujawab Belum. Nanti kuantar kesana, sekalian mampir ke rumahku
Asyikkkkkk... Mantapppppp.... Saat yang ditunggu-tunggu hehehehehe

Meluncurlah aku ke Mangga Dua, disambut oleh Boss Erwan kemudian diajak makan di Lantai 3, dan tanpa Ba Bi Bu segera tancap ke Tangerang.

Sepanjang perjalanan yang kami obrolkan adalah seputar nama-nama pengarang Cerita Silat jadul.
Saya: Boss, cersil-cersil jadul itu banyak saduran siapa ya?
Boss: Misalnya karya siapa?
Saya: kayak OPA, Chung Sin, Tjoe Beng Siang
Boss: Chung Sin itu anaknya OPA (Oh Peng Am). Nah Tjoe Beng Siang itu si Endra Setiadi.
Diskusi ini jadi meriah dan tanpa terasa kami sudah tiba di halaman Anelinda.

Anelinda ternyata terletak di Lantai-2, dan koleksi buku-bukunya relatif banyak. Namanya juga pecinta buku, pas kami di Anelinda sudah pasti kami sibuk memilah dan memilih aneka buku, komik dan cerita silat kesukaan. Untuk cersil terus terang saya mendapatkan banyak info dari Boss Erwan. Sedangkan untuk komik, (dengan bangga) Boss Erwan banyak bertanya ke saya. Di Anelinda pun ketemu Anton, sehingga menjadi riuh luar biasa. Sayang nggak ketemu Boss Birawayudha hehehehe

Pulang dari Anelinda, maka menuju ke rumah Boss Erwan.
Lupa alamatnya..............
Dan suasana rumah yang bener-bener pecinta buku
Dilihat saja ya hehehehehe

Koleksi yang Luar Biasa Bosss

Dituangkan di Denpasar
12 Maret 2010

Dari : jadul1972.multiply.com

Rabu, 10 Februari 2010

Hasmi Berharap Ada Yang Bikin Game Gundala


Bulan ini, 40 tahun lalu, muncul kali pertama komik berjudul Gundala Putra Petir. Saat itu, Gundala, si tokoh utama, sempat menjadi pujaan anak-anak. Dia adalah superhero asli buatan Indonesia. "Bagaimana nasib si pencipta tokoh itu sekarang"

NAMA panjangnya adalah Harya Sura Minata. Tapi, nama bekennya Hasmi. Dialah sosok di balik tokoh superhero Gundala. Sejumlah judul komik yang saat itu populer lahir dari tangan¬nya. Kini Hasmi berusia 63 tahun dengan dua anak yang masih kecil.
Komik dengan tokoh utama Gundala kali pertama di-launching pada 1969.

Kehadiran Gundala kala itu mendapat sambutan hangat. Setelah itu, muncul judul-judul komik dengan tokoh utama Gundala. Hampir setiap tahun, lahir 1-4 judul dari tangan Hasmi. (selengkapnya tentang judul-judul komik Gundala baca grafis). Saking populernya kala itu (era 1970-1980), Gundala pernah difilmkan pada 1981. Film layar lebar itu disutradarai Lilik Sudjio. Tokoh Gundala diperankan aktor Teddy Purba.
Kini kepopuleran sang superhero Gundala agaknya tinggal nama. Hasmi mengakui, saat ini komik lokal tidak lagi punya tempat istimewa di kalangan masyarakat. Bila dahulu komik adalah hiburan yang punya prestise, saat ini banyak hiburan lain yang bisa diakses masyarakat dengan biaya lebih murah.

"Fans saya (Gundala) rata-rata sekarang berusia 40-50-an tahun. Tidak banyak anak muda yang tahu saya. Era komik sudah kehilangan kepopulerannya mulai 1980-an," kata Hasmi ketika ditemui Radar Jogja (Group Radar Banjarmasin) di rumahnya di Karangwaru, Jogja. "Tapi, saya menganggap ini sebagai hal yang normal. Ini konsekuensi dari hidup di dunia global. Banyak hiburan asing yang masuk,"imbuhnya.
Hasmi menceritakan, masa¬masa keemasan Gundala datang sebelum 1980-an. "Saat itu tidak banyak hiburan yang bisa dinikmati. Saat itu belum ada game dan internet. Baca komik sudah yang paling gaul," katanya, lalu terkekeh.
Kepada penggemar setia yang masih mengingat Gundala dengan baik, Hasmi mengatakan bahwa dirinya sangat terkesan. "Sampai saat ini, Gundala bisa dibilang sudah tidur selama 25 tahun. Tapi, masih saja ada yang kadang bertanya kepada saya tentang kelanjutan Gundala," paparnya.

Sebagai salah satu hasil karya asli Indonesia, Hasmi berharap agar Gundala bisa kembali dikenalkan kepada generasi muda. Hasmi juga menilai ide memfilmkan Gundala sebagai ide bagus. "Mengenalkan lewat film itu ide yang patut dicoba. Memang belum tentu sukses dan biayanya juga tinggi. Tapi, kenapa tidak dicoba" ujarnya.
Hiburan audio visual, kata Hasmi lebih diminati saat ini. Karena itu, Gundala juga bisa ditampilkan dalam audio visual. "Sekarang yang audio visual lebih disukai. Anak-anak lebih suka internetan dan main game daripada membaca. Mengapa tidak dikenalkan lewat audio visual?" katanya.

Hasmi menyadari, membuat film membutuhkan usaha dan dana yang jauh lebih besar daripada membuat komik. Namun, Indonesia saat ini punya banyak individu kreatif yang bisa mendukung dibuatnya film Gundala.
"Menurut saya, tidak seharusnya kita ragu memproduksi film Gundala karena khawatir tidak akan diterima pasar. Kita punya banyak bekal untuk itu kok. Yang penting adalah kerja sama tim dan pendukungnya," ucapnya yang Siang itu ditemani sang istri Mujiati dan putri bungsunya, Batari Sekar Dewangga.
Selain setuju difilmkan, Hasmi juga tidak keberatan Gundala dijadikan game. Menurut dia, hal ini sah saja dilakukan asal karakter Gundala sebagai pembela kebajikan tetap dipertahankan. "Pada dasarnya, Gundala kan tokoh yang mengajarkan kebaikan. Mau dia tampil dalam bentuk film, animasi, atau game,sepanjang karaktemya masih sama, saya tidak masalah," tegasnya.

Mengangkat kembali superhero lokal, lanjut Hasmi, perlu dilakukan agar kebanggaan terhadap bangsa sendiri muncul. "Kita kan sedang mengalami krisis identitas dan budaya. Apalagi, negara tetangga sering mengklaim budaya kita sebagai bagian dari mereka. Karena itu, budaya yang masih ada, termasuk karya sastra, perlu kita angkat kembali. Dengan begitu., muncul kebanggaan," terang ayah dua putri itu.
Tokoh Gundala pernah difilmkan pada 1981. Untuk pembuatan film itu, Hasmi mengatakan mendapat uang Rp 1,5 juta. Uang itu kini seakan tak berbekas. Dan, Hasmi pun sekarang sehari-hari bekerja serabutan.

Ketika kali pertama membuat komik Gundala pada 1969, Hasmi sama sekali tidak berpikiran bahwa komiknya itu bakal difilmkan. Dia menyadari, tidak mudah dan tidak murah membuat film superhero. Apalagi, dunia pembuatan film di Indonesia saat itu belum secanggih di Amerika yang sudah biasa membuat film-film superhero. Saat Gundala kali pertama difilmkan pada 1981, Hasmi tidak terlibat dalam pembuatannya.
Sebagai penulis asli cerita superhero Gundala, Hasmi hanya dimintai saran dan pertimbangan tentang plot cerita awal Gundala. Namun, pengembangannya diserahkan kepada penulis skenario. "Saya hanya ditanya¬tanya soal Gundala. Seperti apa karakternya dan bagaimana latar belakangnya. Setelah itu, saya murni penonton, tidak terlibat di dalamnya," ujarnya.(jpnn)
Sumber artikel: Surat Kabar Harian Radar Banjarmasin pada hari rabu, 30 September 2009

Yuk, Jadi Saksi dan Pelaku Sejarah Komik Indonesia!


Digelarnya pameran komik diharapkan bisa mendukung kemajuan komik Indonesia, terutama sebagai media pendidikan dan ekspresi budaya masyarakat Indonesia.
Komunitas Pengumpul Komik Indonesia (Pengki), Komunitas Penerbit Komik Indonesia (KPKI), dan Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional (Perpustakaan Depdiknas) kembali mengajak masyarakat luas untuk menjadi saksi sekaligus pelaku dalam sejarah komik Indonesia. Ajakan tersebut ada di Pameran Cergam dengan tema “Komik Indonesia Bangkit!”.
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Depdiknas Muhadjir, pameran yang dibuka sejak Rabu (2/12) di Perpustakaan Depdiknas ini diharapkan bisa membantu upaya mendukung kemajuan komik Indonesia, terutama sebagai media pendidikan dan ekspresi budaya masyarakat Indonesia. Pameran Cergam berlangsung hingga 12 Desember 2009 mendatang di Perpustakaan Depdiknas, Jakarta.
Menurut seorang panitia, Ambar Arum, selain memamerkan karya-karya para komikus Indonesia, pameran ini juga akan menggelar workshop "Comic For Everyday" bersama CerGam Center. Dilaksanakan selama dua hari pada Jumat dan Sabtu (11 dan 12 Desember), workshop diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja usia 9-18 tahun. Di akhir acara, Sabtu (12/12), juga akan diadakan peluncuran komik "Gina" karya Gerdi W.K.
Ambar menambahkan, Pameran CerGam merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Komik Indonesia yang akan diselenggarakan pada 26-28 Februari 2010 di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Festival Komik Indonesia akan menjadi ajang perayaan komik dengan tema “Berani Ngomik!”.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO Kamis, 3 Desember 2009 | 11:49 WIB
Dari : edukasi.kompas.com

Senin, 08 Februari 2010

Asal Mula Terjadinya Gina Pahlawan Wanita Ciptaan Gerdi WK


Walaupun Oom Gerdi WK memulai kisah Gina dari awal, ketika Gina masih seorang gadis biasa, namun bagi saya kisah Gina dimulai ketika tokoh ini ditangkap Dewi Ular yang sakti. Tentu saja kalah, karena Gina masih seorang gadis biasa.
Setelah kalah Gina diikat di tiang dengan baju yang minim, sementara Dewi Ular bercerita didepannya tentang awal mulanya Dewi Ular berubah menjadi sakti, yaitu karena ditolong oleh Raja Ular. Digembleng selama beberapa bulan oleh Raja Ular, maka Dewi Ular jadi sakti dan sukar terkalahkan.
Ketika diikat ditiang itulah, Gina tolong oleh seorang kakek sakti. Gina dilepaskan dari ikatannya, dan sebagai ganti Gina, sang kakek menciptakan Gina palsu yang terikat di tiang tersebut.


Oleh sang kakek, kemudian Gina dilatih hingga menjelma menjadi pahlawan wanita sakti yang bisa terbang.


"Oleh kakek itu aku dibawa terbang ke tempat kediamannya, lalu ditempat kediamannya itu aku ditempa menjadi manusia ajaib yang sakti mandraguna, yang akan diandalkan oleh kakek itu untuk menjadi pemberantas kejahatan didunia ini sebagai wakil dirinya. Maka jadilah aku seorang Siti Hasana baru pemberantas kejahatan, penegak keadilan yang sakti mandraguna dengan nama baru : GINA
Seperti apakah Gina sebelum jadi seorang superhero ? Ternyata Gina hanya gadis biasa, puteri seorang Sultan di negeri TURABA
Ia bebas bercanda dengan dua orang kakak lelakinya yang bernama Marwan dan Rustam. Lalu siapakah nama aseli Gina semula ? Ternyanya namanya adalah : Sina atau Siti Hasina .... nama inilah yang kemudian berganti menjadi Gina.(Ahita Teguh Susilo)


Gina sebelum menjadi super hero, masih bernama Sina atau Siti Hasina

Sabtu, 06 Februari 2010

Andy Wijaya: Cita Rasa Gundala sangat Lokal

Kalau yang ini foto Andy Wijaya di Facebook ... tampak muda banget


Andy Wijaya: Cita Rasa Gundala sangat Lokal
Pemilik toko komik lokal ini, bicara banyak tentang perkembangan komik di Indonesia.
Senin, 9 November 2009, 12:31 WIB
Irina Damayanti, Gestina Rachmawati

VIVAnews – Tak hanya bicara komik secara keseluruhan, Andy juga mengangkat tentang tokoh Gundala, figur pahlawan lokal yang sudah digandrungi sejak dulu.
Andy Wijaya, pemilik toko komik ‘ANJAYA’ yang ditemui VIVAnews di tokonya di bilangan ITC Kuningan, berbicara banyak mengenai hobi dan bisnisnya di dunia perkomikan Indonesia.
Berawal dari kegemarannya membaca komik local, akhirnya Andy memutuskan untuk membuka usaha toko komik yang sudah ditekuninya sejak 17 September 2004. “Setelah komik lokal mulai terpuruk dengan kehadiran komik import Jepang, saya merasa makin sulit untuk mencari komik-komik seperti “Gundala”, “Godam” dan “Si Buta Dari Goa Hantu”, untuk nostalgia. Untuk itu, saya berinisiatif untuk mencoba membuka toko komik Indonesia, dimana para penggemar komik lokal bisa datang kesini untuk membeli sekaligus nostalgia, dan diperkenalkan pada putra-putrinya,” ujar Andy.
Andy pun akhirnya berpetualang dan berburu komik lokal untuk menjalani bisnisnya ini. Meski kerap mendapat kesulitan, Andy tak pantang menyerah. Ia pun berburu komik hingga keluar Jakarta, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatra dan Padang.
“Namanya juga berburu barang koleksi, kadang kita bisa beruntung mendapatkan koleksi yang kita cari, kadang kita juga buang-buang waktu, tenaga dan uang. Karena suka nggak ketemu juga. Malah kadang kita jadi suka menemukan komik-komik baru. Karena komik Indonesia itu judulnya memang banyak sekali, Di Jakarta sebetulnya banyak, tapi milik para kolektor, dan kan mereka nggak mau jual,” imbuh Andy.
Dalam tokonya ini, Andy menjual kurang lebih sekitar 800 buah judul komik popluler. Tidak hanya cerita heroik, tema-tema roman, silat dan humor seperti komik “Petruk Gareng” juga tersedia. Beberapa koleksi dari tahun 50-an pun dijual disini, seperti “Wiro Anak Rimba (1950)”, “Ramayana (1956)” dan “Mahabarata” (1957) dan masih banyak lagi.
Andy juga menjual kisah tentang tokoh pahlawan local Gundala. Keterlibatannya pertama kali karena bekerjasama dengan BumiLangit, pemegang hak cipta Gundala. “Kita juga ngurusin penerbitan ulang, sudah hampir empat judul. Saya rasa, antusias pembacanya masih ada, sempat yang pertama itu kita cetak diatas 5000 eksemplar oplahnya,” ucap pria yang mengaku pernah bekerja di BumiLangit itu.
Meski penjualannya tidak sebesar “Jaka Sembung” dan “Si Buta Dari Goa Hantu”, animo peminat komik Gundala diakui Andy masih banyak. “Pembacanya kalo untuk yang nostalgia berusia 30 tahun keatas, tapi banyak para orangtua yang ngasih ke anaknya, yang masih usia 10 tahun sampai 12 tahun. Mereka senang ada alternatif lain selain komik-komik import. Citra rasa-nya lokal banget. Gaya bercanda dan situasi ekonominya juga sangat Indonesia.”
Karakter tokoh Gundala dikenal sangat manusiawi dan tak jauh dari keseharian kita. “Gundala itu jagoan yang bisa sedih, marah, bisa jatuh cinta, bisa ditolak perempuan dan sebagai superhero, dia sering kalah, nggak jago-jago banget, justru disitu kelihatan sisi manusiawinya,” kata Andy.
Sampai saat ini, sudah empat judul serial Gundala yang sudah dicetak ulang, yakni “Asal Usul Gundala Putra Petir”, “Perhitungan di Planet Koffox”, “Dokumen Candi Hantu”, dan “Operasi Goa Siluman”. Dijual denfan harga Rp 16.000, tapi ada harga khusus untuk yang versi bekas dan biasa dicari para kolektor, harganya bisa mencapai Rp 500.000.
Khusus untuk penjualannya, Andy Wijaya mengatakan,” Kalo dalam sebulan, di toko saya mungkin Komik Gundala bisa laku sekitar 30-40 eksemplar. Saya punya 23 judul Gundala, tapi masih ada satu yang saya cari. Karena kendalanya pengarangnya sendiri kadang suka lupa udah bikin komik berapa kali. Kalo Gundala sendiri, keuntungannya cukuplah, nggak sampe rugi. Mungkin BEP-nya dalam waktu setahun. Karena untuk komik ini, pangsa pasarnya masih ada.”
Andy pun bercita-cita untuk bisa mengeskpos tokoh Gundala lebih luas agar bisa terdengar, entah itu lewat film atau sinetron. Hal ini ia rencanakan untuk menyambut Ultah Gundala yang ke lima Windu.
Sebelum menutup wawancara, Andy juga mencurahkan harapannya demi masa depan komik Indonesia.
“Saya berharap banyak terutama pada generasi muda, mereka kan ujung tombak kita. Semoga mereka masih mau membuat karakter komik-komik baru dan juga mau meneruskan lagi karakter yang pernah jaya seperti “Gundala”, “Godam” dan “Si Buta Dari Goa Hantu”, sehingga komik Indonesia bisa bangkit lagi,” papar Andy yang senang pernah bertemu dan mengobrol langsung dengan Hasmi, pencipta tokoh Gundala.

Dari : http://cangkang.vivanews.com/news/read/103881-andy_wijaya__cita_rasa_gundala_sangat_lokal

Kegilaan Pemburu Komik Indonesia


Para kolektor komik Indonesia semakin gencar memburu komik asli Indonesia yang makin langka. Harga terbitan asli bisa mencapai jutaan rupiah.

Komik atau cerita bergambar saat ini tidak bisa hanya dianggap secara sederhana. Terutama komik-komik tua Indonesia saat ini merupakan salah satu barang koleksi yang bayak diperebutkan para kolektor yang umumnya sudah bukan anak-anak kecil lagi. Harganyapun tidak bisa diprediksi, terkadang para kolektor harus berani membayar jutaan rupiah untuk satu komik.

Perasaan dapat kembali ke masa lalu menjadi salah satu kepuasan dan alasan kuat bagi Henry Ismono, salah seorang kolektor komik di Jakarta. Komik-komik koleksinya adalah komik-komik Indonesia yang mulai langka, yakni komik-komik yang diterbitkan pada era kejayaan komik Indonesia di tahun ’60 – ‘70-an.

“Dengan mengumpulkan komik-komik Indonesia, saya seperti kembali ke masa silam (masa anak-anak) saat masih SD,” kata Henry yang mengaku gemar membaca komik sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, dia harus menyewa dari tempat-tempat persewaan komik di kota asalnya Salatiga, Jawa Tengah. Harga sewanya kala itu antara 5 rupiah sampai 10 rupiah per komik.

Sampai saat ini, koleksi komiknya sudah mencapai ribuan, dengan ratusan judul komik. Di antara komik-komik koleksinya, antara lain Gundala Putra Petir, Mahabarata, Jaka Sembung, Godam, Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak, Kelelawar, Mandala Siluman Sungai Ular, Si Tolol, Djampang, dan masih banyak lagi.

Henry mulai mengoleksi komik sejak 2004 lalu. Diawali ketika dia menemukan komik masa kecilnya yakni Gundala Cuci Nama. Dia sendiri mengaku tidak pernah menyangka akan menemukan komik masa kecilnya tersebut kembali. “Dulu pernah punya (komik Gundala Cuci Nama) tapi hilang,” kata Henry.

Sejak menemukan kembali komik lama itulah, keinginan untuk mengumpulkan komik-komik lama Indonesia seperti tidak bisa dihentikan. Terlebih setelah dia bergabung dengan komunitas pencinta komik Indonesia . “Kita jadi bayak saling bertukar informasi tentang komik-komik Indonesia dalam komunitas ini. Ya sudah semakin akut saya mengumpulkan komik-komik ini,” katanya.

Ribuan komik miliknya dikumpulkan selama lebih kurang lima tahun terakhir dengan cara berburu ke pasar-pasar loak. Tidak hanya pasar loak di Jakarta yang menjadi area perburuannya, Henry juga berburu komik-komik lama ini hingga ke daerah-daerah yang pernah dia kunjungi, baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Waktu untuk berburu komik ini biasanya adalah pada hari-hari libur terutama Sabtu dan Minggu.

Untuk bisa terus menambah koleksinya, Henry mengaku tidak sungkan menjalin hubungan baik dengan para penjual buku-buku bekas di pasar-pasar loak yang dianggap sebagai mitra dalam perburuanya. “Kadang saya suka bilang, kalau ada komik yang bagus jangan kasih tahu kolektor lain. Hubungi saya saja,” akunya sedikit membuka rahasia sesama pemburu komik.

Selain dari hasil berburu, beberapa koleksi komik Henry ada juga yang didapat dari hasil barter dengan sesama kolektor komik yang jumlahnya sekitar 20 – 30 orang dalam komunitasnya ini. Tapi komik hasil barter tersebut tidaklah banyak, yakni sekitar 5 sampai 10 persen dari koleksi komik yang dimiliki.

Perburuan komik bagi Henry tidak lepas dari hitung-hitungan hoki seseorang. Menurutnya, jika memang sedang tidak hoki, kendati memiliki uang yang banyak namun tetap saja dia tidak menemukan barang yang diinginkannya. “Tapi kalau lagi nggak punya uang ternyata malah ada yang nawarin,” katanya.

Salah satu contoh Henry mendapatkan hoki saat berburu komik adalah saat tengah berkunjung ke Magelang, Jawa Tengah. Dia mendapati banyak sekali komik Indonesia di pasar-pasar loak. Jumlahnya hampir satu karung dan harganya hanya 100 ribu rupiah. “Sampai di Jakarta teman ada yang meminta salah satu judul dan akan dibayar 400 ribu rupiah. Tapi saya tidak kasih,” katanya.

Kegilaannya kepada komik membuat Henry memiliki bujet khusus untuk membeli komik. Dalam sebulan setidaknya dia menyisihkan 1,5 – 2 juta rupiah untuk berburu komik. Bahkan, dia mengaku sempat berutang ke kantor hanya untuk membeli komik langka berjudul Mahabarata karya RA Kosasih yang diterbitkan penerbit Melodi.

“Saat itu, saya lagi tidak punya uang tapi ada yang menawarkan. Akhirnya saya pinjam uang ke kantor 3,5 juta rupiah untuk beli satu komik. Itu komik termahal yang saya miliki,” katanya sambil mengurai tawa.

Soal harga komik-komik Indonesia, menurut Henry, sangat bervariasi. Biasanya mahal-murahnya bergantung dari langka tidaknya komik tersebut. Patokan umumnya adalah tahun terbit dari komik yang bersangkutan. Komik terbitan tahun 1965-1966 harganya bisa mencapai 500 ribu rupiah. Ini harga untuk satu seri yang umumnya 64 halaman saja. Sedangkan untuk komik satu set yakni satu cerita tamat harganya bisa mencapai 3,5 juta rupiah.

Henry juga memberlakukan secara khusus komik-komik koleksinya ini di rumahnya. Satu per satu komik koleksinya ini dimasukkan dalam amplop plastik kemudian disusun secara rapi di lemari-lemari yang khusus di belinya untuk menampung kegilaannya pada komik-komik ini. “Harta saya di rumah yang berharga yah komik ini,” ujarnya.

Kendati telah memiliki ribuan koleksi, Henry mengaku masih terus ingin menambah lebih banyak lagi koleksi komik-komik Indonesia. Sampai saat ini, dia mengaku masih terobsesi untuk memiliki karya-karya komikus Jair Warni Ponakanda yang mengarang komik Jaka Sembung. Terutama karya-karya awal Jair. “Saya rasanya tidak bisa berhenti untuk terus mengoleksi,” katanya.

Tidak jarang untuk melengkapi kegilaannya terhadap komik dan koleksi-koleksinya, Henry juga mendekati langsung ke tokoh pengarangnya yakni komikus-komikus lama tersebut. Sayangnya, para komikus ini justru tidak menyimpan karya-karya mereka sendiri. “Alhasil saya minta dibuatkan saja sketsa oleh mereka dan saya pajang di rumah,” tuturnya.

Maka, di dinding rumahnya terpajang sketsa asli dari pelukis Man, Gerdy WK, RA Kosasih, dan Hans Jaladara.
nik/L-1

Dari : http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=14248

PROFIL - OPTIMISME PEDAGANG KOMIK LAMA

Nah ini foto Mas Andy Wijaya dari Anjaya Bookstore dan Tommy Johan Agusta dari Balicomic

Komik modern asal Jepang saat ini tidak menyurutkan niat pedagang komik Indonesia lama untuk terus mencari dan menjual buku cerita bergambar yang umurnya sudah puluhan tahun itu. Munculnya komik-komik modern asal Jepang saat ini tidak menyurutkan niat pedagang komik Indonesia lama untuk terus mencari dan menjual buku cerita bergambar yang umurnya sudah puluhan tahun itu.
Komik modern yang bermunculan dengan cerita versi Jepang seperti Naruto dan Detektif Conan seolah menjadi cambuk bagi Andy Wijaya untuk mengembalikan kejayaan komik Indonesia lama. Andy Wijaya merupakan pedagang komik Indonesia lama yang membuka toko di ITC Kuningan Lantai 4 Blok C6 No.3A Jakarta Selatan. Selain menjual komik lama dia juga mencetak ulang beberapa komik tersebut.
Mungkin orang tidak percaya kalau komik yang sudah kusam dengan warna kertas kecoklatan itu dijual di sebuah mal, namun itu lah niat Andy untuk menghidupkan kembali komik Indonesia.
Ia mengakui saat ini belum bisa mengandalkan dari hasil penjualan komik lama untuk hidup, tetapi masih ditopang dengan penjualan buku cerita silat yang juga dipajang di tokonya itu." Saat ini kami belum bisa mengandalkan penjualan komik lama untuk pegangan hidup, tetapi kami yakin sekitar 10 tahun mendatang komik Indonesia akan kembali dicari orang," katanya. Ia menyebutkan, rata-rata per minggu dapat menjual komik lama sebanyak 10 buku dan buku cerita silat bisa laku hingga 20 buku.
Menurut dia, setelah bisa meyakinkan generasi muda yang kini sedang menggemari komik Jepang, mudah-mudahan prospek komik Indonesia akan kembali cerah sehingga dapat menghasilkan keuntungan bagi pedagang.
"Komik Jepang merupakan kompetitor kami, maka mau tidak mau harus ada strategi untuk menghidupkan kembali komik Indonesia dengan cara mencetak ulang," katanya.
Ia mengatakan, mana mungkin anak-anak sekarang mau membaca komik "jadul" (zaman dulu--red) yang dibuat tahun 1970-an. Melihat saja mungkin mereka tidak mau. Untuk menarik minat pembaca, katanya, komik-komik dengan cerita khas Indonesia itu perlu dicetak ulang. Hingga sekarang dia telah mencetak ulang beberapa komik lama, antara lain Mandala, Maza, Gundala, Godam, dan Si Buta dari Gua Hantu." Masing-masing kami cetak 1.000 buku, kecuali Gundala dicetak 2.000 buku karena banyak peminatnya," katanya.

Nostalgia
Berawal senang membaca komik sejak kecil, Andy tergerak dan terinspirasi untuk membuka toko komik lama yang sekarang tidak ditemukan di toko buku." Semula saya memang senang membaca komik dan saya melihat potensi komik dengan cerita lama cukup bagus, terutama bagi kaum dewasa yang ingin bernostalgia," katanya.
Menurut dia, ada kecenderungan orang ingin bernostalgia, begitu juga bagi penggemar komik yang kini sudah berusia 40 tahun lebih akan mencari komik yang pernah dibacanya waktu masih remaja. Andy mengatakan banyak kaum dewasa yang mencari komik lama tersebut antara lain Mandala, Maza, Si Tangan Sakti, Petualangan Asmara, dan Kuntji Petaka.
Ia mengatakan, komik-komik lama tersebut dijual dengan harga sekitar Rp250 ribu per set, namun juga ada yang lebih dari harga tersebut tergantung sulit tidaknya mencari komik tersebut." Kalau memang barangnya sudah langka bahkan ada yang mencapai Rp1 juta per set," katanya.
Ia mengaku mendapatkan komik lama dari taman bacaan maupun kolektor. Meskipun terhitung mahal, katanya, ada saja peminat komik lama, karena memang kepuasan itu mahal harganya. Para peminat komik lama tersebut, katanya, selain untuk bernostalgia, mereka ingin mengoleksinya.
Selain mencetak ulang, Andi juga menyediakan jasa foto kopi bagi penggemar yang sekadar ingin membaca komik untuk bernostalgia tetapi tidak ingin mengoleksinya.
"Untuk memfoto kopi, kami hanya mengenakan biaya Rp200 per lembar sehingga harganya jauh lebih murah dibanding membeli aslinya," katanya.
Seorang penggemar komik lama, Anton (40), mengatakan ingin membaca komik-komik yang pernah dibacanya tahun 1970-an sebagai nostalgia." Dengan membaca komik-komik yang pernah dibaca waktu muda seakan kami kembali muda," katanya. Ia mengatakan, kepuasan tersebut tidak bisa tergantikan dengan yang lain.

Oleh Heru Suyitno

Dari : http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/70637-____profil---optimisme-pedagang-komik-lama____.pdf

Rabu, 06 Januari 2010

Tua-Tua Komik Makin Tua Makin Cantik





Kolektor memburu komik jadul local yang sudah tidak diproduksi lagi

- Wahyu Tri Rahmawati

Yang namanya barang koleksi, makin tua bakal makin menarik hati . Apalagi buat orang yang hobi mengoleksinya. Salah satu koleksi berusia uzur ini adalah komik Indonesia.
Penggemar komik lawas local ini tak sedikit, lo. Biasanya mereka, membaca komik itu ketika masih kanak-kanak. Nilai nostalgia ini merupakan salah satu alas an mengoleksi komik jadul seperti Gundala Putra Petir, Godam, atau Si Buta Dari Gua Hantu.
Misalnya saja Vicky Mandar yang mengoleksi sekitar 300 judul komik Indonesia. Vicky termasuk kolektor pemilih. Ia tidak mengoleksi semua komik yang ada di pasar. “Hanya komik silat dan superhero” kata Vicky. Ia mengenal komik dari kakaknya. Malahan, Vicky sudah menyukainya sejak Vicky belum bisa membaca.
Selang bertahun-tahun kemudian, ada keinginan untuk memilikinya lagi. “Akhirnya membongkar gudang, ngumpulin komik, lalu merapikannya lagi,“ kata Vicky. Vicky mulai mengoleksi komik sejak 2000.
Menurut Vicky, saat ini perburuan komik lawas tidak seagresif dulu. Kebanyakan karena para kolektor sudah mendapatkan barang incaran mereka. Namun, tetap saja para kolektor ini masih memasang mata. “Yang namanya kolektor, melihat barang bagus, kalau sudah punya pun pengen beli,” kata Donny Santosa yang mengoleksi komik cerita silat.
Apalagi, meski memiliki komik dengan judul sama, kolektor akan mencari buku yang kondisinya masih bagus. “Ini namanya upgrade,” kata Donny. Buku atau komik yang kondisinya lebih mulus tentu berharga lebih tinggi.
Lain lagi dengan Andy Wijaya. Aandy mengoleksi semua jenis komik Indonesia. Hingga kini koleksinya sudah mencapai 2000 judul. Andy mengibaratkan dirinya sebagai black hole yang mengisap semua komik yang ada. Semua komik Indonesia ia lahap, juga beberapa komik dari Amerika dan Eropa.
Saya paling suka Godam, gundala dan Sibuta Dari Gua Hantu ,” kata Andy. Ketiga komik ini memeng termasuk komik yang sangat populer di jaman penerbitannya dulu..
Selain sebagai kolektor, Andy pun memiliki satu gerai buku bekas di ITC Kuningan Jakarta. Bahkan, bersama beberapa rekan, ia melakukan remasstering atau mencetak ulang komik-komik lama.

Tak ada patokan harga.

Andy pernah menghabiskan uang hingga 2 juta untuk membeli satu judul komik. “Judulnya Wiro Anak Rimba,” kata Andy. Komik Wiro Anak Rimba Indonesia ini dibuat oleh Kwik Ing Hoo dan Lie Djien Lien.
Vicky pun pernah menemukan satu komik yang harganya mencapai Rp 2 juta. “Waktu itu saya iseng bertanya komik kapten Yani. Ternyata harganya Rp 2 juta,” kata Vicky.
Kapten Yani merupakan komik strip karya Taguan Hardjo yang dicetak di Medan. Andy menambahkan, komik-komik Medan seperti terbitan Casso dan Harris termasuk yang sulit dicari.
Harga komik lawas juga makin menggila. “Tinggi rendahnya harga tergantung pengarang, ceritanya, kondisi buku, dan seri cetakannya. Cetakan pertama pasti lebih mahal,” terang Donny.
Vicky menambahkan, harga komik mulai naik cukup pesat sejak sekitar tahun 2004. “Boleh dibilang, topnya sekarang,” kata Vicky. Meski harganya melangit, tetap ada saja kolektor yang membeli. Harga satu judul komik Indonesia yang kondisinya bagus bisa mencapai Rp 500.000,- per eksemplar.
Namun Donny mengatakan, tidak ada patokan harga yang pasti untuk barang-barang koleksi seperti komik dan buku cerita lawas. Soalnya orang awam yang bukan pecinta komik tak akan mau membeli satu jilid komik lama dengan harga puluhan ribu.
Sementara, kalau kolektor yang mencarinya, ia pasti memiliki patokan harga sendiri. “Tidak bisa dibilang kenaikannya berapa persen setelah sekian tahun.” Kata Donny.
Tapi harga bakal terus naik, apalagi kalau kondisinya bagus. Soalnya kolektor gemar mengupgrade koleksinya.
Harga komik juga tinggi jika pasokan barang di pasar lebih sedikit disbanding kolektornya. Tak jarang, kolektor memiliki lebih dari satu set komik perjudul. Sebab meski ada banyak, belum tentu kondisinya masih bagus. Salah satu komik yang ada di pasar adalah : Si Buta Dari Gua Hantu karya Ganes Th. Dahulu, komik ini sekali cetak bisa 100.000 eksemplar.

Dari : kontan.realviewusa.com