Sabtu, 26 Desember 2009

Lima Besar dan Tujuh Besar Komikus Indonesia Djadoel



Bukan hanya di dunia film, masyarakat komik pun punya sebutan The Big Five. Mereka adalah Jan Mintaraga, Ganes T.H., Sim, Zaldy, dan Hans Jaladara. Tentu saja mereka dikategorikan sebagai komikus besar karena perhitungan pasar. Tapi perhitungan lain, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma yang mengaku kolektor komik itu, adalah karena lima besar ini adalah para komikus yang karyanya mencantumkan harga dalam rupiah dan ringgit. Itu artinya, karya para komikus itu diekspor oleh pabrik komik Eres.

Ada lagi sebutan "The Big Seven", yakni kelima komikus tadi plus dua nama lain, yaitu Djair Warni dan Jeffry. Ke mana saja mereka? Apakah mereka masih berprofesi sebagai komikus? Inilah wajah sebagian komikus Indonesia.

Hans Jaladara, 52 tahun, "Panji Tengkorak"

Dalam diam, pendekar itu menyeret peti mati yang berisi jenazah seorang perempuan. Ia membawanya ke pusat keramaian maupun ke sudut-sudut sepi. Pendekar berbadan kurus itu bernama Panji Tengkorak. Siapa perempuan dalam peti itu? Dia adalah Mesia, istri yang tak dicintainya. Panji menyeret peti itu karena sebuah ikatan janji. Naif? Absurd? Entah, tapi adegan tersebut mampu menggetarkan para pembaca komik Hans Jaladara.

Karakter Panji yang antihero tersebut, menurut Hans Jaladara—bernama asli Hans Riyanto—sebetulnya tampil justru "bukan dari segi keperkasaannya," ujar Hans. Bahkan, menurut Seno Gumira Ajidarma, sastrawan yang mengaku penggemar berat Panji Tengkorak, ini bukanlah sebuah komik silat melainkan sebuah drama cinta yang tragis. Tak mengherankan bila dari satu jilid ke jilid yang lain, Panji digambarkan berhati lemah dan gampang jatuh ke dalam kendali tangan perempuan. Menurut Hans, yang lahir di Yogya 52 tahun lalu, petualangan dan filosofi hidup Panji lahir dari perbincangan dengan teman-temannya. Selain Panji Tengkorak, dari tangan Hans juga muncul komik Belibis Putih, Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian Boma, yang tak kalah populer.

Dunia komik memang sudah menarik minat Hans sejak kecil. Anak kedua dari tiga bersaudara putra Linggodito ini masih ingat dirinya melonjak kegirangan ketika diberi hadiah komik Jepang dan Amerika oleh sang ayah pada hari ulang tahunnya yang kedelapan. Sejak itu ia makin gemar corat-coret. Bahkan, satu hari ia pernah mengerjakan semua tugas menggambar temannya di sekolah sampai lupa menggambar untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, ketika dewasa, untuk mengasah bakat seninya, Hans belajar di Sekolah Seni Rupa Nasional.

Pilihan Hans untuk menggeluti komik tak sia-sia. Selain ia beroleh penghasilan yang lumayan—setara dengan gaji pegawai negeri menengah—karya komiknya juga diangkat ke layar lebar. Walaupun tidak menjadi kaya, dari hasil tabungannya Hans mampu membeli mobil dan rumah dengan kredit. Pada 1979, Panji Tengkorak dihargai Rp 500 ribu oleh produser.

Saat ini, Hans, yang menekuni dunia lukis, mengaku kembali menelan kekecewaan. Panji Tengkorak versi baru yang diterbitkan Elex Media Komputindo hanya menghasilkan Rp 3 juta untuk dia. Ironisnya, yang kecewa bukan hanya Hans. Seno Gumira Ajidarma merasa Panji versi baru kehilangan identitas karena sangat mirip dengan komik Jepang. "Panji Tengkorak jadi kehilangan seluruh wibawanya, mitologinya hilang," ujar Seno. Namun Seno tetap mengakui bahwa cerita Panji tetap dahsyat.

Seyogianya, jika penerbitnya memiliki kreativitas dan kejelian, karya lama Hans, yang menurut Seno mampu menampilkan gambar yang puitis dengan kemampuan detail yang mengagumkan, perlu diterbitkan kembali sebagaimana aslinya. "Sebaiknya, jika memang ingin menampilkan keindonesiaan itu, Hans harus dibiarkan melukis sesuai dengan Panji Tengkorak gaya lama," ujar Seno.

R.A. Kosasih, 80 tahun, "Mahabharata" dan "Ramayana"

Dari tangannya yang keriput, sejarah pewayangan bergerak dan menjadi gambar hidup. Hastinapura, Indraprasta, Dursasana yang durjana, Drupadi yang setia, Yudhistira yang sabar, Srikandi yang perkasa, dan nasib Bambang Ekalaya yang tragis. R.A. Kosasih, yang kini menginjak usianya yang ke-80 tahun, mungkin orang yang patut berbahagia di negeri ini. Sebab, melalui karya-karyanya ia bukan saja telah memperkenalkan wayang kepada masyarakat Indonesia—non-Jawa—tetapi ia juga telah memasyarakatkan tokoh-tokoh dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Tapi Kosasih adalah sebuah kesederhanaan. Dia pasti tak tahu bahwa pengagumnya berderet, mulai dari Sardono W. Kusumo, Arswendo Atmowiloto, Umar Kayam, Marsilam Simanjuntak, hingga kartunis G.M. Sudarta, dan juga ribuan atau mungkin jutaan pembaca komiknya di seantero Indonesia (Tempo, 21 Desember 1991).

Lahir di Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat, Kosasih adalah putra bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Raden Wiradikusuma. Diawali dari mengamati bungkusan sayur yang berisi potongan kartun Tarzan, Kosasih yang gemar nonton wayang golek itu sering mencoba melukis kartun, yang kemudian diberikan kepada tetangganya.

Tahun 1939 ia mulai melukis ilustrasi untuk buku-buku keluaran Departemen Pertanian Bogor. Debutnya sebagai pengarang komik dimulai pada 1953. Lulusan HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Pasundan itu memulai serial pertamanya Sri Asih, yang dicetak 3.000 eksemplar dan habis licin tandas. Setelah itu, Siti Gahara, Sri dewi, serial Mahabharata, Ramayana, dan... sejarah pun bergulir.

Kini, dalam usianya yang ke-80, jari-jarinya yang gemetar itu hanya sanggup memegang dan menikmati komik impor Jepang milik cucunya. Perjalanan usia—dan menurunnya produktivitas—membuat namanya meredup. Namun itu bukan satu-satunya sebab: komik Indonesia memang tidak terus-terusan berjaya. Kosasih mengaku, minat pembeli terhadap komik wayang mulai menurun selepas tahun 1980-an, bersamaan dengan banjirnya komik impor—Jepang terutama. Sejak 1993, Kosasih tak pernah lagi menyentuh pen dan tinta. Kini ia tinggal di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan. Di lantai atas rumah itu, di sebuah ruang berukuran 5 x 20 meter, Kosasih dan istrinya menjalani hari-hari dengan tenang. Di sudut ruangan, ia menyimpan semua peralatan gambarnya dengan rapi untuk kenang-kenangan.

Untuk menunjang hidup, ia masih memperoleh royalti sekadarnya dari komik Mahabharata yang dicetak ulang penerbit Gramedia.

Jan Mintaraga, 57 tahun, "Rio Purbaya" (dalam "Sebuah Noda Hitam")

Seorang pemuda mengenakan jins, sepatu kets, menggelantung jaket di pundaknya dengan wajah yang kumuh bak Kota Jakarta. Itulah ciri khas goretan Jan Mintaraga dalam komik-komik "roman Jakarta"—demikianlah julukan "genre" komik karya Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy. "Dia mampu menangkap semangat zaman," tutur Seno Gumira Ajidarma.

Lahir di Yogyakarta pada 1942, Jan belajar di bawah bimbingan komikus R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dengan guru yang lebih dikenal sebagai komikus wayang, Jan malah lebih terkenal sebagai komikus roman remaja. Ia dianggap sebagai komikus yang agak kebarat-baratan, terutama karena gayanya sangat dipengaruhi komikus Amerika.

"Komik saya terilhami lagu-lagu Bob Dylan," tutur Jan mengakui. Ia selalu mengambil seting Kota Jakarta, metropolitan, kehidupan anak-anak orang kaya dengan segala problema cintanya. Tapi ia juga sempat membuat beberapa komik laga seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Tapi tokoh ciptaannya yang terkenal, Rio Purbaya, dalam Sebuah Noda Hitam, yang laris pada awal 1970-an. "Untuk Jakarta saja, menurut penerbitnya, terjual 20 ribu eksemplar dan menjadi box office," ujar Jan, yang pernah mengenyam bangku Seni Rupa ITB dan Insitut Seni Indonesia di Yogyakarta. Saking populernya komik itu, aktor Roy Marten, yang pernah ngetop pada masa itu, mengaku terilhami tokoh Rio setelah melahap habis komik itu. Roy bahkan sampai berpenampilan sama dengan Rio, kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans belel.

Pada 1970-an, untuk komik setebal 48 halaman, honor Jan adalah Rp 200 ribu. Sebagai gambaran, harga emas waktu itu Rp 250 per gram, jadi bisa dibayangkan betapa jayanya kehidupan komikus yang sukses di zamannya.

Djair Warni, 49 tahun, "Jaka Sembung"

Dia adalah satu dari "The Big Seven". Dan Djair Warni, komikus itu, menjadi salah satu dari tujuh besar karena karyanya Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Seperti rekan-rekannya sesama "The Big Five", Djair tergolong komikus otodidak. Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair bercita-cita sebagai insinyur. "Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan," tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak) ini.

Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga memiliki pengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung. Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.

Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita—terdiri dari 7 sampai 10 jilid—ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an. Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, "Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri," kata Djair. Ia kini banting setir menekuni profesi di dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario. Salah satu karyanya adalah skenario film Fatahillah, yang dibiayai Pemerintah DKI (1997).

Ahmad Thoriq, 29 tahun, "Caroq"

Inilah wakil generasi baru komikus Indonesia: Ahmad Thoriq. Bersama dengan Peong, yang tergabung dalam kelompok Qomiq Nasional, Thoriq menciptakan Caroq—sosok superhero modern dengan warna lokal. Dia bertopeng merah, berambut gondrong acak, berpakaian ketat, dan dia datang membela rakyat pada saat yang diperlukan dengan menggunakan senjata andalannya: sebuah celurit panjang.

Thoriq lahir di Kota Kembang, 20 November 1969. Berbeda dengan kebanyakan komikus Indonesia era sebelum 1990-an yang otodidak, Thoriq berlatar belakang akademik dan menyandang gelar kesarjaan dari Fakultas Seni Rupa ITB (1991-1996).

Sebagai komikus muda, karya Thoriq terhitung matang. Karakter ciptaannya kuat, garis lukisannya tegas. Salah satu karyanya yang menjadi sampul depan TEMPO edisi Januari lalu disambut oleh kalangan pembaca.

Dari karya-karyanya, terutama serial Caroq, Thoriq sangat terpengaruh gaya komikus Amerika. "Terus terang saya suka gaya (Amerika) itu karena lebih universal dan idealis," ujar Thoriq. Mengapa tak mencari identitas?"Itu merupakan jalan saya berproses sampai menemukan gaya tersendiri," jawab Thoriq mengemukakan alasan. Walau demikian, toh dia mengaku menyukai gaya komikus Indonesia Jan Mintaraga dan Djair, karena dramatisasi gambar komikus itu dianggapnya menarik. Thoriq mengisahkan bahwa gagasan sosok Caroq muncul pada 1991-1992 di kampus ITB. Sedangkan proses pematangannya memakan waktu sampai tiga tahun, termasuk penokohan dan cerita. Setiap anggota Qomiq Nasional punya jatah pekerjaan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan komik itu. "Saya mengerjakan dengan pensil, Peong dengan tinta, Hilman kebagian pewarnaan, dan Pidi bagian penyuntingan," tutur Thoriq. Kini ia sedang mempersiapkan komik lain yang membahas soal Indonesia, dari Gajah Mada sampai Zaman Reformasi. Tapi, namanya juga seniman, entah kapan komik itu beredar.

Wicaksono, Hermien Y. Kleden, Yusi A. Pareanom, Ahmad Fuadi, Hani Pudjiarti, Raju Febrian

Dari : majalah.tempointeraktif.com

Ayah Kandung Panji Tengkorak


SIAPA pun Anda, yang sudah melek huruf di tahun 1970-an, pasti tak akan lupa dengan nama satu ini: Panji Tengkorak. Inilah sosok yang menjadi bagian dari kehidupan remaja di akhir 1960-an. Dan, tak pelak lagi, nama penciptanya pun menjadi identik, dialah Hans Jaladara.

Hans adalah salah satu dari 7 “pendekar” komik Indonesia di masanya, selain Jan Mintaraga, Ganes Th, Sim, Zaldy, Djair, dan Teguh Santosa. Dari 7 pendekar itu, hanya Hans dan Djair yang masih bertahan. Selebihnya, telah tunduk di depan maut.

Panji Tengkorak yang terdiri dari 5 jilid, boleh dikatakan karya masterpiece Hans. Meski karya lain, Walet Merah, Si Rase Terbang juga meraih popularitas. Setelah Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes Th, hanya karya Hans itulah yang mampu menyamainya, difilmkan, bahkan sampai mengundang aktris Taiwan Shan Kuang Ling Fung sebagai Dewi Bunga.

“Setelah Si Buta… populer, sebuah penerbit meminta saya membuat cerita serupa Jan. Tapi saya tak mampu meniru. Saya buat Panji, meski tetap saja banyak yang melihat mirip karya Jan,” cerita Hans, sebagaimana dikutip Kompas.

Ia pun membuat tokok yang anti-si Buta, Badra Mandrawata. Jika si Buta berambut panjang, Panji pendek. Si Buta rapi berbaju kulit ular, Panji compang camping. Si Buta membawa wanara, Panji menyeret keranda. Semua berbeda.

Banyak yang menilai, Panji adalah campuran koboi Italia dan silat Cina masa itu. Bahkan, adegan menyeret keranda, adalah peniruan dari film A Coffin for Jango yang dibintangi Franco Nero.

Tiga versi panji

Hans Jaladara bernama KTP Hans Rianto, kelahiran Yogyakarta 1947, anak kedua dari keluarga Linggodigdo. Nama Jaladara baru ia pakai di awal 1970, karena ada yang meniru namanya. Ia ambil Jaladara dari komik wayang karya Ardi Soma, Wiku Paksi Jaladara.

Ayah Hans adalah guru bahasa Inggris, yang memperkenalkan Shakespeare. Ia bahkan hapal pidato Mark Anthony dalam Julius Caesar itu. Ia pun mewarisi bakat melukis.

“Sampai ditimpuk Bu Guru, karena di sekolah menggambar terus,” kenangnya.

Kebiasaan membaca meliarkan imajinasinya. Melihat pengemis, kadang ia berpikir itu orang sakti yang sedang menyamar. Untuk adegan silat komiknya, ia mempertanggungjawabkannya. Maklum, ia belajar kungfu di Cheng BU Mangga Besar, dan belajar Judo pada Tjoa Kek Tiong.

Hans mulai berkomik sejak 1966, Hanya Kemarin yang diilhami film Hollywood Only Yesterday. Honornya kecil. Namun, saat Panji jaya, satu naskahnya sama dengan satu ons emas.

Namun itu tak lama. 1975, ia menurun. Komik mulai kalah saing. Ia masih bertahan dengan melahirkan Durjana Pemetik Bunga. Tapi, 1987, ia tersungkur. “Bikin komik, hasilnya tak seberapa. Temen-temen lain sudah lari, cari usaha lain. Sim misalnya, jauh hari sudah jadi wartawan,” kenangnya.

Untuk bertahan hidup, ia pindah ke Kebumen, 1978-1983, dan 1988-1994. Istrinya, Risnawati, membuka salon. Ia membeli truk dan pikup, tapi bangkrut. Membeli sedan ikut taksi gelap, malah tertangkap. “Jiwa saya memang tidak untuk dagang.” Ia tertawa.

Selama di Kebumen itu, dia masih mengirim naskah ke Jakarta, meski hasilnya sangat kecil, tak dapat diharapkan menjadi sumber penghidupan. Daya gembur komik Jepang tak dapat ia hadapi.

Namun, dalam “dunia persilatan” yang kacau itu, Hans akhirnya melahirkan “tiga Panji”, setidaknya di mata pengamat komik, Seno Gumira Ajidarma. Pertama, Panji Tengkorak 1968. “Adegan perkelahian silatnya melahirkan gambar koreografi yang artistik. Para petarung bergerak bagai penari, bentuk dan gerakan tubuh ditata harmonis. Ia tak mengacu pada pentuk baladiri mana pun, setia pada imajinasinya,” nilai Seno di situs komikaze.

Panji kedua, 1985. Hans sudah terpengaruh Jepang. Gerakan silat pertarungan, khas kungfu baku, seolah diambil dari buku petunjuk. Kostum bajak laut 1968, jadi bajak laut Jepang 1980-an. “Terjadi degradasi di segala aspek, mengurangi teks, mengosongkan ruang gambar.” Hans mulai diikat pasar.

Tapi, kehancuran Panji di mata Seno, terjadi saat Hans menggambar ulang untuk ketiga kali, 1996. “Semua gaya mengadopsi sepenuhnya pada komik Jepang. Mata yang membelalak dan bidang gambar yang bersih tanpa arsiran memenuhi ruang gambar, teks yang pendek. Hans Jaladara yang jago dalam detail dan imajinasi, seperti pelukis yang dikebiri,” kecam Seno.

“Tak ada lagi pendekar bercaping yang berjalan di lembah sunyi, rimbun dan berkabut, yang memberi perasaan teduh. Tak ada lagi gerobak eksotik yang berderak lambat di tengah padang rumput atau tepi jurang. Juga pertarungan yang artistik dalam siluet hitam membayang. Tak ada lagi drama. Ibarat kata, Panji Tengkorak cuma tinggal tengkorak, tanpa daging, apalagi nyawa. Yang tersisa hanya kostum genit dari pertunujukan yang gagal!”

Pengakuan Hans: semua atas pesanan penerbit.

Perubahan drastis itu tetap saja tak berpengaruh apa-apa pada pasar. Komik itu tak juga laku, apalagi meledak. Inilah yang dinilai Seno, kesalahan kategoris dalam “mengangkat kembali” komik Indonesia. Karena komik kemudian berubah mengikuti selera pasar, bukan kembali ke asalnya, artistik semula, dengan strategi pasar yang baru. Untunglah, telah ada penerbit dari Yogya, yang akan menerbitkan serial Panji dalam bentuk aslinya.

Kelesuan komik itu membuat Hans berusaha menaikkan profesi, jadi pelukis. Tapi sudah terlambat. Beberapa kali mengikuti pameran, nasibnya tak kunjung beranjak. Ia datang di saat yang tak tepat, ketika booming lukisan sudah redup, tak seperti di awal 1990-an.

Kini, sejak 1995 ia kembali ke Jakarta, menempati rumah di kawasan Lippo Cikarang, 30 kilometer sebelah timur Jakarta. Ia masih aktif berkomik di majalah Kita, mengasuk rubrik “Mari Menggambar bersama Pak Hans”, dan membuat serial Kita dan Tata. Tiga kali seminggu, ia mengajar menggambar di SD, SMP, dan SMU Pelita Harapan.

Apa pun kecemerlangan dan kesuraman masa komik Hans, kini, dengan tunjangan usaha istri, ia telah memiliki rumah, dan anak yang sukses bersekolah. Putrinya, Maureen Maybelle (26) sarjana sastra Inggris UKI, dan Elizabeth Visandra, masih kuliah di desain grafis Tarumanegara, mengikuti jejak ayahnya.

Hans apa boleh buat, ibarat pesilat yang telah terlanjur masuk dunia persilatan. Tak ada lagi jalan mundur. Bertarung atau mati. Maka, ia pun tetap berkelana, dalam dunia yang mulai dilupakan….

Dari : rumahputih.net

Senin, 21 Desember 2009

Berburu Komik Keliling Indonesia


KOMIK sebagai sebuah media mempunyai karakteristik tersendiri. Banyak orang memahami komik hanya sebagai media hiburan atau malah membuang-buang waktu. Ada anggapan komik hanya untuk anak-anak saja. Namun, David, Dewa, dan Tommy banyak mendapatkan hal positif dari membaca komik.

Memburu komik keliling Indonesia dan berani mengeluarkan kocek hingga mencapai 20 juta sebulan, itulah yang dilakoni David Eddy Haris. Lelaki yang berprofesi wiraswasta ini sudah gemar membaca komik sejak TK. Walaupun ia belum bisa membaca, ia sangat tertarik melihat gambar-gambar di komik. Namun, sejak SMP ia beralih ke cerita Khoping Hoo. Banyak koleksi cerita silat dari negeri Cina yang dimiliki David. Namun, semenjak remaja ia mulai tertarik Ramayana. Mulai ia mengoleksi satu demi satu. “Komik Indonesia ada 1000 koleksi, dan komik Jepang dan Hongkong 1000 koleksi. Karya Tony Wong Long Hu Men dan Pedang Maha Dewa favorit saya,” tutur David.
Untuk hobinya ini, David memiliki dana khusus. Kadang ia membeli beberapa komik Rp 200.000 perbulan. Namun, ketika ia menemukan banyak koleksi, David berani merogok kocek hingga 20 juta sebulan. Untuk pengarang Indonesia, ia menyukai Ganes TH, Teguh Santosa, Jan Mintaraga, RA Kosasih, Mansur Daman dan Gerdi WK.
Lain David, lain lagi penuturan Dewa. Lajang yang berprofesi sebagai arsitek ini menyalurkan kejenuhannya bekerja dengan membaca komik. Ia menyukai komik sejak kelas II SD. Namun, koleksinya tidak lengkap karena sudah banyak yang raib dibawa keponakannya. Lelaki yang sejak kecil sudah piawai menggambar ini sangat tertantang dengan fantasi dan imajinasi yang ditampilkan di komik.
Ia menyukai tokoh Krisna dalam komik Ramayana. Baginya, figur dan nasihat yang disampaikan tokoh arif tersebut bagi Dewa, memberi kesan tersendiri baginya. “Komik mampu bertutur dengan baik dan menyampaikan nasihat kepada kita. Komik merangsang minat baca,” ujarnya. Dengan membaca komik, dewa terinspirasi dengan imajinasinya. Saat ini Dewa sedang membuat komik bertema superhero dengan tokoh Saga. Dalam komik yang ia buat, ada satu pesan disampaikannya seorang pahlawan dan ksatria tidak selalu diindentikkan dengan wajah tampan. Dewa menggambarkan Saga seseorang dengan wajah rusak akibat tragedi kebakaran. Dari situ Saga bangkit dan mampu menjadi superhero. “Saya ingin menyampaikan tidak ada manusia yang sempurna. Namun, di balik kekurangan itu, hendaknya manusia berusaha menjadi diri sendiri tanpa meniru orang lain,” ujar lelaki kelahiran Singaraja 38 tahun silam ini.
Bersama David dan Tommy, mereka membuat satu komunitas di situs http://www.balicomics.com untuk para pencinta komik di Bali. “Bagi masyarakat yang ingin berbagi koleksi komik dan berbagi infromasi seputar komik, komunitas ini adalah ajang yang tepat untuk bergabung,” ujarnya.

Menjaga keharmonisan suami istri lewat membaca komik itulah yang dilakoni pasangan Tommy Johan Agusta dengan Hermastati. Sejak kecil Tommy sudah menyukai komik. bahkan koleksi komiknya waktu kecil masih lengkap tersimpan sampai sekarang. Ia mengenalkan komik kepada istrinya sejak mereka berpacaran. Hermastati awalnya hanya penasaran. Tapi lama kelamaan, ia tertarik juga untuk membacanya. Tommy menyukai karya komikus Jepang Takeshi Maikawa yang berjudul Kungfu Boy.
Koleksi Tommy kini berkisar 1000 komik Indonesia, dan 100 komik Jepang dan Hongkong. Komik Hongkong yang digemarinya karya O Cen Wen dan Li chi Ching. Yang kini sedang diburu Tommy adalah Tepi Air kisah 108 pendekar Thian Sang.
Tommy sangat menyukai komik persilatan. Menurutnya ada satu pesan yang disampaikan yakni untuk menjadi orang yang berhasil dan sukses orang harus bekerja keras.
Uniknya, kehidupan perkawinan Tommy dan Hermastati jarang diwarnai keributan. Ketika mereka ada waktu luang, mereka selalu memanfaatkan dengan membaca komik. Menurut Hermastati tidak ada waktu untuk meributkan hal yang tidak penting. “Malah kami asyik membahas isi komik bersama-sama daripada meributkan hal tidak penting,” akunya sambil tertawa.
Dengan membaca komik membuat komunikasi pasutri ini semakin terjalin mesra. Hermastati memang tidak bekerja. Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, ia selalu memanfaatkan waktunya membaca daripada menonton sinetron.
Hobi Tommy dan istrinya yang suka membaca komik ternyata menurun juga pada dua anaknya Alindi Masihi atau yang akrab disapa Indi dan Maitri Kumara yang akrab disapa Meymey ini. Indi sejak usia 3 tahun sudah menyukai komik. Walaupun ia belum bisa membaca, Indi selalu memabwa komik kemana pun ia pergi. Sejak kelas III SD, Indi sudah mampu menggambar komik. Bahkan Indi memunyai blog sendiri memajang hasil karya komiknya.

Jadi Dalang Cilik

Lain lagi Meymey putri kedua Tommy. Kesukaannya membaca komik pewayangan, membuatnya tertarik menjadi dalang. Meymey sangat menyukai komik Ramayana. Dari situlah, akhirnya Meymey menyukai wayang. Sejak umur 4 tahun ia sudah bisa mendalang. Meymey belajar sendiri tanpa guru. Setiap hari, wayang selalu menjadi teman bermainnya. Saat tidur Meymey meminta diceritakan kisah pewayangan. Kini Meymey sudah duduk di kelas TK besar. Meymey sudah piawai mendalang. Walaupun menggunakan wayang asli, Meymey memunyai sebutan khusus untuk para tokohnya. Tokoh Yudistira disebut kakak pertama, Bima si Gendut, Arjuna Si Kurus, Nakula Sahadewa si Kurus Kering. Meymey lebih suka memanggil tokoh wayangnya dengan sebutan sesuai bentuk tubuhnya. “Kalau perutnya besar dipanggil Si Buncit,” ujar bocah siswi TK Albana itu. Saat ini Meymey memiliki 10 wayang dan sangat mengidolakan Bima yang gagah perkasa. Setiap pulang sekolah Meymey selalu menyempatkan diri bermain wayang. Saat wartawati Koran Tokoh datang ke rumahnya Meymey tampak malu-malu ketika diminta mendalang. Akhirnya dengan bujuk rayu ayahnya, Meymey bersedia menunjukkan kepiawainya itu. Tema Meymey lebih pada kehidupan sehari-hari. Ketika ayahnya menjanjikan sesuatu padanya, dan ayahnya lupa, Meymey segera mengambil wayangnya dan mulai berceloteh dan menyindir sang ayah. Tanpa merasa dikoreksi Tommy maupun Hermastati sadar untuk menepati janji mereka.
Menurut Tommy, ada satu manfaat positif yang didapat kedua putrinya dari suka membaca komik. “Selain membuat mereka menjadi gemar membaca sejak kecil, talenta Meymey dan Indi berkembang pesat,” ujar Tommy.

Komik Sinchan untuk Orang Dewasa
Komik memunyai sisi positif bagi anak karena dapat mengembangkan imajinasi anak. Namun, peran orangtua sangat penting membantu anak memilihkan komik yang tepat. Sayangnya, banyak komik Indonesia menggunakan bahasa yang belum diedit. “Banyak kata kasar tertulis di komik. Anak bisa menirunya,” ujar Psikolog Anak Retno I. G. Kusuma.
Ia menilai komik memang memiliki manfaat positif jika tema sesuai dengan perkembangan anak. “Komik merangsang minat baca anak, menunjukkan percakapan kosa kata sehingga anak dapat belajar berinteraksi dengan baik,” tutur Retno. Selain wawasan anak menjadi lebih luas rasa keingintahuannya sangat tinggi. Menurutnya bagus untuk perkembangan otak anak.
Memperkenalkan anak dengan buku-buku semacam ini secara tidak langsung menumbuhkan kebiasaan membaca buku pada anak. Hal itu dapat memancing anak untuk terus mencari buku serupa yang pada gilirannya menjadi sebuah kebiasaan baru. “Jika mencintai buku sudah tumbuh, seiring berjalannya waktu, kesukaan anak pun akan terus berkembang untuk mencari dan mempelajari buku-buku dari berbagai bidang,” ungkap Retno.
Namun, orangtua harus membatasi waktu anak membaca komik. “Ada waktu khusus mengisi liburan atau refresing. Jangan sampai kebablasan sehingga anak menjadi malas dan lupa waktu serta melupakan tugas pokoknya belajar,” ujarnya.
Ia mengatakan komik harus disesuaikan dengan usia anak. Jangan sampai ada gambar yang kurang baik dilihat anak seperti cara memukul orang, atau memperkosa. “Hal ini akan terekam kuat pada memori anak,” tandasnya.
Menurutnya komik yang bagus adalah kisah pewayangan yang mengajarkan nilai filosofi, kepahlawanan, tokoh, dan nasihat. “Komik bagus diperkenalkan sejak anak masih kecil. Komik adalah cerita bergambar. Ini merangsang visual kognitifnya untuk pengenalan warna dan bentuk,” papar Retno. Komik Sinchan kurang baik untuk anak-anak karena banyak kata-kata yang tidak sopan. Komik Sinchan di negara asalnya di Jepang dikhususkan untuk orang dewasa bukan anak-anak.
Menurutnya untuk pelajaran yang membosankan bagi anak seperti matematika, bahasa Inggris, atau sejarah sangat bagus dibuat model komik. “Anak-anak pasti menggemarinya,” saran Retno. –ast