Selasa, 14 Desember 2010

Menyambung Napas Kho Ping Hoo


Berbeda dengan masa jayanya, cerita silat KhoPing Hoo kini diedarkan per judul hingga tamat.

Bangunan tua di tengah perkampungan, Mertokusuman, Gandekan, Jebres, Solo itu terlalu besar untuk sebuah kantor penerbitan dengan tujuh orang karyawan. Di sana-sini dijumpai tumpukan buku dengan ukuran mini. Satu- satunya mesin cetak di kantor penerbit CV Gema itu tak lagi beroperasi.

“Dulu mesin itu memang milik CV Gema, tapi dengan pertimbangan efisiensi, Gema tak lagi mencetak sendiri. Mesinnya dikelola oleh salah satu keluarga Kho Ping Hoo,” kata Bunawan, Direktur CV Gema. Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo adalah sebuah nama yang begitu melekat di benak penikmat cerita silat di Indonesia.

Dari gedung tua yang tampak tak terawat itulah muncul jagoan-jagoan silat rekaan pengarang yang sangat populer pada 1960-1970-an itu. Sejak 1965, Gema setia menerbitkan buku-buku Kho Ping Hoo. “Setelah tujuh tahun karya- karyanya dicetak dan diterbitkan oleh penerbit lain, Kho Ping Hoo memutuskan mendirikan sendiri penerbitannya,” kata Bunawan, menantu tertua Kho Ping Hoo.

Mula-mula, kata Bunawan, Kho Ping Hoo menerbitkan cerita silat pada 1958 melalui Penerbit Selecta Grup. Melihat besarnya minat pembaca bukubukunya, Kho Ping Hoo merintis usaha penerbitan sendiri. Ia mengarang, mencetak, menerbitkan dan memasarkan sendiri.

Tapi pada akhirnya Ping Hoo kewalahan dengan semakin membeludaknya penggemar buku- bukunya. Bunawan yang baru saja menikah dengan anak pertama dari istri pertama Kho Ping Hoo pun diminta mengurusnya sejak 1973. “Bapak konsentrasi mengarang,” ucapnya.

Gema mencetak setiap jilid yang baru diselesaikan pengarang kelahiran 1926 itu. Dari setiap judul ada puluhan jilid. Gema telah menerbitkan ratusan judul cerita silat. Bunawan mengenang, saat itu setiap jilid buku Kho Ping Hoo itu digemari. Ia menyebut persewaan buku dijubeli remaja-remaja yang berebut untuk meminjam buku seukuran notes tersebut.

Di masa jaya itu, Gema bisa mencetak lebih dari 10 ribu eksemplar untuk setiap jilid. Namun dengan berlalunya waktu, masa keemasan Kho Ping Hoo pun surut. Tapi toh itu tak memudarkan semangat Gema untuk terus mencetak dan menerbitkan ulang cerita silat yang beberapa di antaranya diangkat ke layar lebar tersebut.

“Ada 112 cerita silat Mandarin dan 25 cerita silat Indonesia serta beberapa roman yang terus diterbitkan ulang,” kata Bunawan. Menurut pria berusia 61 tahun ini, sampai sekarang kantornya masih sering mendapatkan order dari penggemar Kho Ping Hoo.

Dia mengaku paling sepi, dalam sepekan pasti ada 2- 4 orang yang memesan. Berbeda dengan masa jayanya, cerita silat Kho Ping Hoo kini diedarkan dalam bentuk set alias per judul hingga tamat. “Kalau dulu kan per jilid, sekarang kami menerbitkannya per set sehingga ada yang satu judul mencapai 60-an jilid,” ujarnya.

Meski demikian, Bunawan yang beberapa tahun ini dibantu oleh salah satu adik iparnya, Onkie Asmaraman, 47 tahun, masih tetap mempertahankan ciri khas buku Kho Pingho. Sampul muka dari kertas HVS dengan gambar tangan 1-2 warna.

Huruf yang dipilih pun tetap seperti mesin ketik meski sudah menggunakan komputer. “Pernah dicoba diterbitkan seperti novel, tapi para penggemar keberatan. Ya sudah, kami mengikut saja, daripada tidak laku,” katanya.

Buku terbitan ulang rata-rata dicetak 500 eksemplar setiap judul. Ini jumlah yang sedikit. Tapi menurut Bunawan, dengan jumlah sebesar itu Gema masih bisa memetik keuntungan. Setiap set (judul) dari seri 1 hingga tamat, Bunawan menjual dari harga yang termurah Rp 8.000 (Dendam Membara, 4 jilid) hingga Rp 124 ribu (Jodoh Rajawali, 62 jilid).

Dari ratusan judul buku cerita silat tersebut, serial Bu-Kek Sian- Su dengan 17 judul dan Siang Bhok Kiam (12 judul) merupakan best seller. Selain pesanan, buku-buku Kho Ping Hoo juga dijual melalui toko-toko buku, termasuk toko buku Gramedia dan Gunung Agung.

Menurut Bunawan, sampai saat ini Kho Ping Hoo masih memiliki banyak penggemar. “Rata-rata bapak-bapak berusia 40-an tahun. Mereka ini dulu semasa remaja menyenangi Kho Ping Hoo, tapi dilarang orangtuanya. Waktu itu kan baca cerita silat dianggap membuat orang jadi malas belajar.

Nah setelah tua mereka ingin membaca sekaligus mengoleksi,” tutur Bunawan. “Ada pemesan dari Jakarta yang bilang kalau dia ingin melampiaskan dendamnya karena waktu SMP tidak boleh baca Kho Ping Hoo.” Ia menceritakan, pernah ada seorang penggemar Kho Ping Hoo datang ke Mertokusuman No 761 untuk memborong hampir semua judul karya pengarang yang sudah 11 tahun lalu meninggal itu.

“Dia membeli sampai habis satu juta rupiah lebih,” ucap Bunawan yang juga menyebut bekas KSAD Jenderal (Purn) Subagyo sebagai penggemar yang memiliki koleksi lengkap. Di Amerika Serikat, kata Bunawan, juga ada Kho Ping Hoo Club yang secara periodik bertemu di salah satu rumah warga Indonesia yang memiliki koleksi lengkap. “Sering kok mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika Serikat, Belanda, Arab Saudi, dan Jepang memesan buku- bukunya agar dikirimkan ke sana,” katanya.

Dari sejak berdiri hingga sekarang, Gema hanya sebatas perusahaan penerbitan keluarga. Hasil keuntungan dari penjualan buku-buku Kho Ping Hoo pun dibagi rata setiap tahunnya kepada 12 anak Kho Ping Hoo dari 2 orang istrinya, Rosita dan Hartini yang kini masih hidup. Ya ndak ada royalti-royaltian. Setiap tahun keuntungan yang dikumpulkan dibagi bersama. Sederhana saja.”

Saat mendirikan Gema, KhoPing Hoo sebenarnya tak hanya ingin menerbitkan bukunya sendiri. Sejumlah karya pengarang cerita silat seperti Widi Widayat, Gator Riyo Purwanto, B. Permaidi HP juga diterbitkan Gema. “Tapi karena yang laku memang buku Kho Ping Hoo, mau ndak mau fokus utamanya ya ke situ. Kho Ping Hoo sendiri sebenarnya ingin mengangkat pengarang yang lain,” katanya.

Bunawan yakin selama penggemar cerita silat karangan mendiang mertuanya itu masih ada yang memburu, Gema pasti akan tetap ada. Dia merasa senang ketika sebuah media online membuat cerita Kho Ping Hoo secara bersambung. “Seperti diiklankan, padahal kami justru yang dibayar.”

imron rosyid

Dari : feidao.multiply.com

Rabu, 08 Desember 2010

Hasmi


Harya Suraminata
Harya Suryaminata yang dikenal dengan Hasmi (lahir di Yogyakarta, 25 Desember 1955; umur 54 tahun) adalah salah satu komikus dan penulis skenario terkenal di Indonesia. Karyanya yang dikenal adalah Gundala Putra Petir, seorang tokoh dalam komik Indonesia. Sebanyak 23 judul buku seri Gundala terbit antara 1969-1982. Tokoh Gundala ia ciptakan setelah Maza, yang telah lebih dulu muncul pada 1968. Petualangan Gundala berakhir pada 1982 dengan buku terakhir berjudul "Surat dari Akherat". Sempat muncul kembali sebagai komik strip di Jawa Pos pada 1988, namun tidak bertahan lama.

Pendidikan
Ia terbiasa menggambar sejak masih duduk di bangku SMP BOPKRI 1 Yogyakarta. Setelah lulus SMA, Hasmi awalnya bercita-cita menjadi insinyur, namun ia gagal melewati tes masuk teknik UGM. Pada tahun 1967 Ia mendaftar di Akademi Seni Rupa Indonesia, namun masa kuliahnya di ASRI hanya bertahan dua tahun dan berakhir pada 1968. Ia memutuskan untuk keluar karena waktunya habis tersita untuk serial Gundala yang sangat digemari kala itu. Pada 1971, Hasmi kuliah lagi di Akademi Bahasa Asing pada jurusan bahasa Inggris dan lulus pada tahun 1974. Pernah menjadi salah satu murid kesayangan dari perguruan BIMA (Budaya Indonesia Mataram), tetapi memutuskan untuk tidak aktif karena kesibukannya menggambar.

Film
Setelah Gundala Putera Petir tidak terbit, Hasmi banting setir menjadi penulis skenario, bahkan bintang tamu di sinetron. Sejumlah skenario film yang pernah ditulisnya antara lain Kelabang Sewu (disutradari Imam Tantowi), Lorong Sesat, Harta Karun Rawa Jagitan, dan beberapa film lainnya. Selain itu, ia aktif menulis skenario untuk acara ketoprak di TVRI Yogyakarta. Hasmi juga adalah penulis paling produktif di teater Stemka untuk acara televisi (Yogyakarta)

Dari : id.wikipedia.org

Harya Suryaminata "Gundala Putra Petir" di Gang Sempit




Hasmi atau Harya Suryaminata
Ibarat gelas berukuran kecil, kebahagiaan Harya Suryaminata begitu mudah terisi penuh dan meluber. Kebahagiaan itu hadir dari hal-hal yang relatif sederhana. Di rumahnya, di ujung gang buntu daerah Karangwaru, Yogyakarta—pencipta tokoh komik ”superhero” asli Yogyakarta, Gundala Putra Petir—itu bercerita tentang hidupnya.
Merekalah sumber kebahagiaan saya,” katanya tentang keluarganya. Terlahir dengan nama Isman Surasa Dharmaputra, orangtuanya lalu mengganti namanya karena dia sering sakit. Orangtuanya percaya, anak mereka sering sakit karena keberatan nama. Maka, di dunia komik dia lebih dikenal dengan nama Hasmi. Sementara di kalangan sahabat dia sering disapa Nemo.
Sejak tak aktif lagi membuat komik, Hasmi menggunakan waktunya untuk mengurusi keluarga. Setiap pagi dia ikut menyiapkan keperluan dua putrinya, Sekar Dewangga (12) dan Ainun Anggita Mukti (6), untuk ke sekolah.
Hasmi membesarkan keluarganya dalam kesederhanaan. Meski karyanya Gundala Putra Petir menjadi salah satu komik lokal terkenal dalam sejarah komik Indonesia, hidup mereka jauh dari kemakmuran. Royalti dari komik dan film tak membuat dia kaya. Dia kerap berjalan kaki atau bersepeda bila pergi ke suatu tempat.
Penghargaan terhadap komikus rupanya masih memprihatinkan. Komik belum dihargai sebagai karya seni sehingga bayaran pembuat komik atau ilustrasi di Indonesia relatif tak seberapa. Namun, Hasmi tak merisaukan hidupnya yang sederhana. Menurut dia, kepuasan itu muncul kala dia bisa menghasilkan karya, berapa pun imbalannya.
Di atas semua itu keluarga bagi dia adalah impian yang semula sulit diwujudkan. Beberapa kali gagal menikah, Hasmi baru menikah saat usianya berkepala lima. Istrinya, Mujiyati (40), semula adalah salah satu ”anak asuhnya”.
Dia mempunyai beberapa anak asuh karena kecintaannya kepada anak-anak. Mereka jugalah yang sejak lama tergabung dalam Anak-anak Gundala atau Gundala’s Kids. Sampai kini saat anak-anak tersebut telah dewasa, mereka tetap suka mengunjungi rumahnya di ujung gang sempit itu.
Hasmi aktif membuat komik tahun 1968-1995. Di ruang tamunya masih ada meja gambar meski dia tak lagi sering menggunakannya. Hanya sesekali ia menggambar, itu pun kalau ada pesanan.

Usia yang tak lagi muda membuat staminanya untuk menggambar jauh berkurang. ”Waktu masih membuat Gundala dalam sehari saya bisa menggambar lima lembar komik. Kini, untuk satu lembar saja, butuh waktu seharian,” katanya.
Mengangkat lokalitas
Meski kemampuannya menggambar relatif terbatas, ide untuk mengangkat nilai-nilai lokal dalam komik tetap tak terbendung. Dengan bersemangat, dia menceritakan komik terbarunya, pesanan seorang dosen yang punya perhatian terhadap kebudayaan Jawa.
Berlatar belakang masa Kerajaan Singasari sampai pilkada pada era reformasi, 13 halaman komik itu berkisah tentang sebilah keris ”haus kuasa”. Alkisah, Jahubang memesan keris kepada seorang empu. Ketika keris selesai dikerjakan, sang empu mengatakan, keris itu bisa membantu pemegangnya menduduki jabatan. Syaratnya, keris tak boleh terlumuri darah.
Namun, hasrat ingin berkuasa telah membuat sang pemilik melanggar pantangan sang empu. Jahubang menggunakan keris itu untuk membunuh sang empu pembuatnya. Begitu pantangan dilanggar, keris pun berubah menjadi benda yang membawa kematian pemegangnya.
Dari zaman Singasari, keris terus beralih kepemilikan sampai zaman Majapahit, lalu perang Giyanti pada penjajahan Belanda, hingga era reformasi. Tragedi terus-menerus berulang, keris selalu membunuh pemiliknya yang haus kuasa.

Pada zaman modern keris haus darah itu dimiliki calon bupati yang ingin menang pilkada dengan ijazah palsu. Bupati haus kuasa itu menuai kemarahan masyarakat. Di tengah unjuk rasa, keris pun beraksi, meminta korban. Di bagian akhir kisah keris berada di tangan penjual barang bekas (klithikan) di Yogyakarta.
Lewat komik dari penerbit lokal Yogyakarta ini, Hasmi mengkritik sifat manusia yang haus kekuasaan, sampai rela menghalalkan segala cara.
”Sebenarnya keris itu tak bertuah, tetapi pemiliknya yang berulah,” katanya.
Komik juga menjadi media Hasmi untuk mengenalkan (kembali) keris kepada masyarakat. Saat membuat komik dia banyak membaca buku tentang keris dan berkonsultasi pada ahlinya.
Lewat komik ini, Hasmi juga ingin mendorong para komikus muda untuk menggali nilai-nilai lokal. Dia prihatin melihat kondisi perkomikan Indonesia yang didominasi komik Jepang. Padahal, dengan sedikit imajinasi, cerita-cerita tradisional bisa diramu menjadi komik yang tak kalah seru dibandingkan dengan komik Jepang.

Malioboro di Gundala
Hasmi selalu mengangkat nilai lokal dalam karyanya. Gundala Putra Petir, misalnya, terinspirasi tokoh Jawa, Ki Ageng Selo, yang punya kesaktian menangkap petir. Sedangkan kostum Gundala diambilnya dari tokoh komik Flash Gordon. Ia juga memasukkan tukang becak Malioboro dan suasana Yogya dalam komiknya.
Di tangan Hasmi tema-tema lokal bersaing dengan komik produk asing yang saat itu juga banyak beredar. Meski dia pun memendam kekecewaan atas karyanya. Tak satu pun naskah asli dari 23 komik Gundala Putra Petir yang masih ada. Naskah-naskah itu hilang setelah diserahkan kepada penerbit.
Kondisi ini membuat serial komik Gundala Putra Petir sulit diterbitkan lagi. Penerbitan ulang beberapa judul Gundala Putra Petir beberapa waktu lalu terpaksa dilakukan dengan memindai ulang setiap halaman komik lama yang telah diterbitkan.
”Baru sekarang saya menyesal, mengapa saat itu tidak meminta lagi naskah aslinya pada penerbit. Tak mungkin saya menggambarnya lagi,” katanya.
Setelah tak lagi banyak membuat komik, Hasmi sering menyalurkan daya kreatifnya di dunia teater dan seni pertunjukan. Beberapa kali dia menulis naskah dan menyutradarai pertunjukan teater atau boneka.

September lalu, misalnya, dia menjadi sutradara pementasan Teater Stemka. Hasmi juga banyak melayani para komikus muda yang ingin menimba ilmu dari dia. Kepada para komikus muda itu, Hasmi senantiasa mengingatkan agar menggali kelokalan.

***
Harya Suryaminata

• Nama lain: Hasmi
• Lahir: 25 Desember 1946

• Sekolah:
- SD Ngupasan 2 Yogyakarta
- SMP Bopkri I Yogyakarta
- SMA Bopkri I Yogyakarta
- Akademi Seni Rupa Indonesia, dua tahun, tak lulus
- Jurusan Bahasa Inggris, Akademi Bahasa Asing Jogja

• Istri: Mujiyati

• Anak:
- Sekar Dewangga (12)
- Ainun Anggita Mukti (6)

Irene Sarwindaningrum
Dari : regional.kompas.com

Godam Beraksi Sampai Mati


SEPEKAN menjelang fajar tahun baru 2004, Rumah Budaya Tembi, di Bantul, Yogyakarta, menggelar pameran komik. Tak tanggung-tanggung, pameran berlangsung tiga minggu sampai 17 Januari 2004. Beberapa peminat komik masa kini mungkin masih ingat komikus Widodo Nur Slamet, yang lebih dikenal sebagai Wid N.S. Itu sebabnya karyanya digelar untuk mengingat kejayaan industri komik lokal di era 1970-an hingga 1980-an. Ketika itulah sejumlah nama komikus muncul: Yan Mintaraga, Teguh Santoso, Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Hans Jala-Jala (Panji Tengkorak), Hasmi (Gundala Putra Petir).

Tragisnya, beberapa jam sebelum pameran dibuka, Wid N.S. meninggal pada usia 65 tahun. Tak salah jika disebut Almarhum merupakan sisa komikus di era itu yang masih berkarya-hingga akhir hayat-justru ketika komik lokal tersapu bersih oleh komik impor. Tak kurang dari 25 lembar karya Wid N.S. yang dilukis di kertas ukuran HVS dipamerkan, beberapa di antaranya karya asli. "Memang tak banyak karya asli Mas Wid yang masih tersisa," ujar Ons Untoro, koordinator Rumah Budaya Tembi. Hanya ada beberapa lembar karya seri Godam. Selebihnya karya pasca-1980-an yang umumnya komik strip untuk koran. Untung masih ada beberapa buku komik seri Godam-meski sudah kusam dan tak lengkap-yang dipa- merkan dalam kotak kaca, seperti Tirani Biru di Negeri Godam, Black Magic, Sang Kolektor, Bocah Atlantis, Mentjari Djedjak Majat, Doctor Setan, Mata Sinar X Godam.

Almarhum dikenal terutama berkat seri si Godam. Bacalah, misalnya, gayanya dalam Godam, Doctor Setan: "He! Aku mendengar tembakan tiga kali! Berarti Profesor dan jang lainnja ada dalam bahaja. Aku harus menolongnja! Akan kupakai tjintjin adjaib ini!" Bimsalabim, ketika Awang menyorongkan cincin ke jari manis asap tebal segera menyelimuti tubuhnya. Saat asap lenyap, bukan Awang lagi jang berdiri disitu, melainkan djagoan kita jang cukup menggemparkan dunia: GODAM!

Awang adalah pemuda sopir truk jarak jauh yang menjelma jadi pahlawan pemberantas kejahatan. Ia muncul dengan baju besi berlogo G berbentuk segitiga bersayap. Baju besi itu membuat Godam kebal peluru, tenaganya pun berlipat ganda. Tinju berbalut sarung tangan mengepal bertenaga godam, kaki kukuh ber- sepatu bot nyaris menyentuh dengkul, jubah licin kaku. Jubah yang terbuat dari bendera pusaka suku Zelu itu membuat tubuh Godam seringan kapas hingga mampu melesat mengejar pesawat jet.

Ketika diciptakan pada 1969, Godam menjadi "bacaan wajib" para remaja saat itu. Ketika itu di Amerika Serikat orang sedang demam Superman. "Mas Wid menciptakan Godam, saya menciptakan Gundala Putra Petir," ujar komikus Hasmi, sobat Almarhum. Wid N.S. memang piawai melambungkan fantasi pembaca dengan memasukkan aspek ilmu dan teknologi. Godam, misalnya, dipertemukan dengan penduduk benua yang hilang Atlantis dalam seri Aquanus; meluncur dengan roket ke planet Thalezer; bentrok dengan Doctor Setan, si pencipta robot.

Mula-mula Wid N.S. menciptakan tokoh Aquanus, si manusia air, pada 1969. Namun, sukses baru ia raih setelah si Godam lahir. Dengan judul berbeda, komik Godam yang diterbitkan beberapa seri laku keras. Meski terinspirasi oleh tokoh Superman, Godam adalah rekaan asli Wid N.S. Tokoh Awang mendapat kesaktian lewat "tjintjin adjaib" pemberian "roch sutji" berupa orang tua berpakaian serba putih. Sedjak dia mempunjai tjintjin adjaib itu, dia (Awang) sangat ditakuti pendjahat, karena dimana kedjahatan timbul Godam selalu menumpasnya, demikian ditulis Wid N.S. dalam seri Doctor Setan.

Godam muncul dengan sosok tubuh berciri Asia. Rahangnya persegi, mulut agak lebar, ototnya tak menonjol berlebihan. Awalnya, Godam tak mengenakan celana pendek ketat, sarung tangan, dan sepatu bot. Dalam seri Tirani Biru di Negeri Godam, misalnya, tokoh populer itu hanya mengenakan cawat dan sepatu bertali tanpa sarung tangan. "Inilah Godam yang berciri Melayu," ujar Wid N.S. sebagaimana dituturkan oleh komikus Hasmi.

Zaman berputar, selera konsumen komik pun berubah. Mereka tak lagi tertarik adegan baku silat yang pernah jadi pakem komik Indonesia. Juga tak bersemangat menikmati komik cerita sejarah karya Wid N.S. macam Perang Diponegoro. Semuanya dilibas komik impor. Maka, satu per satu komikus lokal tumbang. Atau beralih profesi. Tapi Wid N.S. bertahan. Bahkan hingga akhir hayatnya, beberapa jam sebelum pameran retrospeksinya dibuka.

Raihul Fadjri

Dari : majalah.tempointeraktif.com
Gambar dari : http://alvablue.wordpress.com/

Wid Ns


Nama Lahir : Widodo Noor Slamet
Lahir : 22 November 1938
Meninggal : 26 Desember 2003,Yogyakarta, Indonesia
Pekerjaan : Seniman
Pasangan : Suradinah
Anak : Hayuning Dewi Darjati, Fajar Sungging Pramodito, Prasidani Lintang Satiti, Anggoro Purnomosidi

Widodo Noor Slamet
Widodo Noor Slamet yang populer dengan nama Wid NS lahir di Yogyakarta, 22 November 1938 – meninggal di Yogyakarta, 26 Desember 2003 pada umur 65 tahun) adalah pencipta tokoh komik Godam. Komik Godam diciptakan oleh Wid NS dalam kurun waktu 1969-1980 sebanyak 15 judul komik Godam. Komik Godam terakhir yang seharusnya menjadi komik ke 16 yang berjudul "Ujian Buat Awang" belum terselesaikan karena kesehatan yang terganggu sampai beliau meninggal tahun pada tahun 2003.
Selain mencipta Godam, Wid NS juga menciptakan tokoh komik Aquanus pada tahun 1968. Karakter komik lain yang diciptakannya adalah Kapten Dahana.

Sebelum komik
Wid NS adalah Seniman otodidak yang "cuma" lulus SMP Negeri II Yogyakarta pada 1956 itu tidak menamatkan pendidikan lanjutannya di SMA PPK Yogyakarta. Wid pertama kali bekerja formal pada Jawatan Penerangan Bengkulu. Pernah pula bekerja di majalah Hai dan Bobo pada 1981. Selanjutnya, ia bekerja di TVRI Yogyakarta sebagai penulis skenario sandiwara. Selaras dan bakatnya membawanya ke dunia komik mulai tahun 1968. Komiknya yang pertama dibayar Rp. 7.500.

Studio Savicap
Wid NS dan Hasmi yang sudah saling mengenal sejak 1963 mempunyai selera yang sama pada fiksi ilmiah dan superhero. Mereka sering saling meminjamkan karakter komik dan cerita komik yang mereka ciptakan. Rumahnya di Yogyakarta berfungsi sebagai studio yang mereka namakan Studio Savicap. Savicap adalah kepanjangan Sagitarius, Virgo dan Capricornus. Tiga buah rasi bintang yang dimiliki oleh Pak Wid NS, Pak Hasmi dan seorang temannya

Seniman serba bisa
Wid NS menguasai banyak cabang kesenian seperti seni patung, relief, murel, seni lukis, teater, musik, lawak dan beberapa kesenian tradisional.
Wid NS selau berusaha manampilkan sosok yang lebih natural dalam karya-karyanya. Godam yang beraksi di Indonesia digambarkan sebagai orang Asia. Kendaraan, bangunan sangat jelas konstruksinya. Kemampuan dalam bertutur bisa menampilkan humor maupun suspense.
Wid NS selain meciptakan komik superhero seperti Godam, juga menciptakan komik silat maupun horor seperti "Anjing Setan de La Rosa" dan "Pengantin Rumah Kubur". Karya-karyanya juga banyak dimuat di majalah-majalah anak Ananda seperti "Azis". Penerbit komik Misurind menerbitkan komik sejarah "Ken Arok", selain itu pernah bersama-sama komikus Indonesia yang lain Hasmi, Djoni Andrean, Hasyim Katamsi dan Marsoedi membuat komik tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 berjudul "Merebut Kota Perjuangan" pada tahun 1983.

Berkarya sampai akhir hayat
Beliau meninggal saat pembukaan “Pameran Ilustrasi Komik” karyanya di Balai Roepa Tembi, Yogyakarta yang diselenggarakan dari 26 Desember 2003 sampai 17 Januari 2004.
Di galeri yang terletak di desa Timbul Harjo, kecamatan Sewon, Bantul, Godam hadir bersama beberapa tokoh lain dalam Pameran Ilustrasi Komik karya Wid NS. Di antaranya Azis, anak cerdas yang kerap muncul di majalah Ananda pada 1980-an, Nyi Ageng Serang, Bocah Antlantis, hingga Ken Arok. Total karya yang dipamerkan, 30 ilustrasi dan 25 jilid komik terbitan 1968-1995.
Wid meninggal di rumahnya yang sederhana di perumahan Bale Asri, Wates, sekitar 10 kilometer arah barat Yogyakarta. Ia meninggalkan Suradinah, istrinya, empat anak --Hayuning Dewi Darjati, Fajar Sungging Pramodito, Prasidani Lintang Satiti, dan Anggoro Purnomosidi-- serta tiga cucu. "Saat meninggal, Bapak baru saja menyelesaikan lukisan potret dirinya," kata Sungging. Bahkan, tangan Wid pun masih berlumuran cat.
Putra Wid NS, Fajar Sungging Pramodito pada tahun 2006 menciptakan komik Godam Reborn yang merupakan usaha menghidupkan kembali tokoh Godam.

Dari : id.wikipedia.org

Selasa, 16 November 2010

Hasmi Sang Pencipta Gundala

MEMBICARAKAN kejayaan komik lokal di era tahun 1970-an, tentu kita tak bisa melepaskan ingatan kepada sosok-sosok superhero Nusantara, di antaranya adalah Gundala, si putra petir. Dan kalau ingat Gundala pasti segera ingat pengarangnya, yakni Harya Suraminata atau lebih dikenal dengan nama Hasmi. Baru-baru ini Penerbit Bumi Langit menerbitkan kembali komik pertama Gundala Putra Petir ini. Dan, tampaknya buku tentang asal-usul Gundala ini disambut antusias penyukanya. Gundala sebenarnya adalah pemuda Sancaka, seorang ilmuwan yang menemukan serum kebal petir. Karena frustrasi ditinggal pacarnya, Minarti, Sancaka merusak penemuannya. Dalam gelap malam dan hujan lebat, dia berlari ke batas kota. Sebuah petir menyambarnya dan mengangkatnya ke langit. Dia terlempar ke hadapan Kaisar Cronz, yang kemudian mengubahnya menjadi Gundala. Tapak tangannya bisa mengeluarkan petir dan mampu berlari secepat kilat.

Ada semacam nostalgia bagi para penggemar yang pada era itu tumbuh besar berbarengan dengan masa kejayaan komik-komik lokal. Ingatan kemudian membayangkan sepak terjang Gundala bersama-sama Godam, Maza, Pangeran Mlaar, Aquanus, Labah-labah Merah membasmi berbagai kejahatan.

Dengan karya seri Gundala sebanyak 23 judul yang diciptakan antara tahun 1969 dan 1982, Hasmi telah menorehkan fenomena yang terus diingat penggemarnya. Seluruh karya Hasmi itu akan diterbitkan ulang oleh Bumi Langit. "Tapi untuk seri The Trouble dan Bentrok Jago-jago Dunia tidak bisa karena berkaitan dengan hak cipta," kata Hasmi (58) di rumahnya yang sederhana di sebuah gang di Jalan Magelang Km 4 Yogyakarta.

Maklum dalam dua judul itu Gundala dikisahkan bertemu dengan Superman, Batman, dan superhero dunia lainnya. Namun momentum penerbitannya kembali terasa pas benar dengan banyaknya tokoh superhero yang diangkat ke layar lebar, di antaranya Batman Begins, Superman, Fantastic Four, dan Spiderman. "Di Yogya memang penerbitan kembali Gundala disebut penerbitan nostalgia," kata Hasmi.

Dalam perbincangan santai dengannya, Hasmi bercerita tentang pengerjaan Gundala edisi ulang ini dan juga rencananya menghadapi selera pasar yang sudah berubah. Pasar komik sekarang memang lebih banyak dikuasai komik Jepang (manga) dan juga kartun Jepang (anime).

Perlu Prahara

Bagaimana Anda melihat peluang komik lokal untuk bangkit kembali?

Memang harus diakui, sekarang sedang terjadi "badai" manga. Kalau ingin komik lokal kembali disukai pembacanya ya harus dibikin "prahara". Nah untuk kerja semacam ini perlu orang-orang yang peduli, karena bisnis komik modalnya harus besar tapi untungnya sedikit.

Nah Penerbit Bumi Langit bercita-cita menerbitkan kembali semua karakter ciptaan saya, yakni Gundala, Maza, Jin Cartuby, Pangeran Mlaar, Merpati, Kalong, dan Sembrani.

Tapi apakah cukup untuk menjadikan komik Indonesia berjaya kembali?

Memang usaha yang dilakukan harus kontinu. Tidak bisa hanya seperti orang meludah dalam banjir. Pasti hilang. Itulah sebabnya saya sangat senang terhadap adanya lembaga seperti Komik Indonesia. Itu kumpulan para penggemar komik lokal yang sekarang kebanyakan sudah pada mapan. Jadi, bisa intens memberikan perhatian pada perkembangan komik lokal.

Apa pengaruhnya buat para komikus lawas?

Terus terang para komikus senior senang, karena ada harapan semua karakter ciptaan mereka bisa diterbitkan ulang.

Soal Gundala edisi ulang ini?

Saya memang tidak punya masternya. Jadi, ini komik lama yang discan, terus diperbaiki dalam narasinya. Soalnya kan dulu masih pakai ejaan lama (pengerjaan touch-up naskah dilakukan tim Bumi Langit, yakni Andy Wijaya, Iwan Gunawan, Surjorimba Suroto, Syamsudin, dan Toni Masdiono.) Ini juga menyiratkan Gundala menjadi sebuah kerja tim. Dan, saya ke depan tetap berperan utama dalam penampilan fisik Gundala. Dulu honornya hanya cukup untuk sendiri. Jadi, mulai sket, gambar, cover, dan cerita dikerjakan sendiri.

Dulu ide karakter Gundala dari mana?

Saya memang terpengaruh genre superhero dunia saat itu. Tapi filosofi power-nya yang berupa petir itu saya ambilkan dari tokoh legenda Ki Ageng Selo yang diceritakan bisa menangkap petir. Sementara bentuk fisik Gundala, saya meniru The Flash.

Tetapi kan ada yang khas dengan seluruh seri Gundala ini.

Memang, dulu sampai sekarang yang diingat itu adalah cerita dan adegan kocak yang khas bagi superhero lokal. Jadi, bisa saja Gundala investigasi sampai ke planet-planet lain, tetapi suatu ketika juga bisa menanyai tukang becak di Malioboro. Nah ramuan lokal yang kocak inilah yang bikin Gundala diterima pembacanya. Dialog-dialog dengan sahabatnya, Nemo, juga khas Yogyakartanan.

Kayaknya yang paling rame dan paling dikenang adalah seri Gundala Bentrok Jago-jago Dunia?

Hahaha zaman dulu kami memang buta atau tepatnya membabibuta. Pokoknya ingin bikin sensasi. Makanya Gundala ditarungkan melawan Superman, Batman, Thor, dan lain-lain. Tidak sadar kalau itu tindakan kriminal, karena memakai karakter ciptaan orang lain tanpa izin. Untuk terbitan ulang ini nanti kayaknya judul itu tidak dicetak karena berkaitan dengan hak cipta.

Wajah Nemo, sahabat Gundala, kok kayak Anda ya?

Nemo itu memang cerminan diri saya dan itu juga nama panggilan saya. Itu kayak sahabat Godam, yakni Nur Slamet yang merupakan kepanjangan dari nama pengarangnya, Wied NS atau Wied Nur Slamet. Selain itu dulu saya suka memasukkan profil rekan-rekan ke dalam komik sebagai figuran hehehe. (Dalam sebuah cerita Gundala dikisahkan menengok latihan Teater Stemka Yogya dan diperkenalkan kepada sutradaranya. "Ini, kenalkan, Mas Landung". Dan, Hasmi memang menggambar profil dramawan Yogya, Landung Simatupang).

Ke depan, apa yang akan Anda lakukan dengan Gundala ini?

Sekarang pasar memang sedang dikuasai komik Jepang. Nah kalau ingin menerbitkan Gundala dengan seri baru, harus ada pembaruan di karakter Gundala ini. Saya dan Penerbit Bumi Langit akan mengadakan angket untuk melihat respons pembaruan Gundala ini. Kami ingin membangkitkan karakter Gundala supaya lebih ngotani. Tidak terlalu ndesa.

Ini masih kemungkinan lo, mungkin saya akan bikin Gundala menghadapi krisis, lalu dia koma. Dan muncul kembali dengan kostum baru. Ini hampir sama dengan perubahan kostum Batman maupun Superman yang terus diperbarui penampilannya.

Seri Gundala

Selain Gundala Putra Petir (Kentjana Agung,1969), judul seri selanjutnya adalah Perhitungan di Planet Covox (1969). Di sini Gundala bertemu dengan Pangeran Mlaar, yang memiliki tubuh bisa melentur. Mlaar adalah putra mahkota yang terkudeta. Gundala membantu mengembalikan tahtanya. Persahabatan itu membuat Mlaar jadi sering main ke Yogyakarta.

Judul berikutnya adalah Dokumen Candi Hantu (1969), yang merupakan pemunculan pertama musuh bebuyutan Gundala, yakni Ghazul. Lalu Operasi Goa Siluman (1969), The Trouble (1969), Tantangan buat Gundala (1969), Panik (1970), Kunci Petaka (1970).

Kemudian dalam Godam vs Gundala (Prashida, 1971) dikisahkan Gundala dan Godam tanpa sengaja tertukar kostum dan kekuatan super masing-masing. Masing-masing saling menuduh mereka palsu dan terjadilah perkelahian luar biasa. Warga Yogya yang menonton jadi bingung, kedua superhero itu kok bertarung. "Mungkin mereka berebut pacar," komentar seseorang.

Setelah mengadu pada pencipta masing-masing, mereka akhirnya bisa balik normal kembali. Kemudian Gudala juga hadir dalam Bentrok Jago-jago Dunia (Prashida, 1971), Gundala Jatuh Cinta (1972), Bernapas dalam Lumpur (1973), Gundala Cuci Nama (1974), 1.000 Pendekar (1974), Dr Jaka dan Ki Wilawuk (1975), Gundala sampai Ajal (1976).

Dalam Pangkalan Pemusnah Bumi (1977), Gundala diceritakan bertemu untuk pertama kali dengan calon istrinya. Kemudian berikutnya terbit Pengantin buat Gundala (1977), Bulan Madu di Planet Kuning (1978), Lembah Tanah Kudus (1979), Gundala Sang Senapati (1979), Istana Pelari (1980), dan terakhir Surat dari Akherat (1982).

Yang menarik kisah-kisah Gundala terkadang merupakan cerminan kisah hidup Hasmi. Dalam Gundala Jatuh Cinta digambarkan cinta Sancaka kepada Cakti, mahasiswi semester 2 ABA, anak kos asal Pasuruan Jatim. Namun Cakti menolak cintanya, sehingga Sancaka patah hati dan limbung. "Hahaha itu refleksi kegagalan cinta saya," kata Hasmi.

Dalam Pengantin buat Gundala maunya Hasmi yang lahir 25 Desember 1946 ini mencurahkan keinginannya untuk segera kawin. Tetapi ternyata jodohnya baru diberikan Tuhan dua tahun lalu. "Saya menikah sudah kepala lima," katanya. (Bagas Pratomo-46t)



Hasmi 2009 (JawaPos)
Lalu adakah yang kenal dengan Hasmi alias Harya Suryaminata? Dialah pencipta Gundala. Inilah cuplikan cerita sang kreator yang saya comot dari sana-sini.

Hasmi dilahirkan 25 Desember 1946 (62 tahun) di Yogya. Sekarang masih tinggal di sebuah gang sempit di kawasan Karangwaru Lor, Yogya. Sama seperti tahun 1969 waktu pertama kali menciptakan Gundala. Pendidikan formalnya bukan di gambar-menggambar tetapi lulusan Bahasa Inggris ABA Yogya. Lama membujang baru menikah tahun 2003, kala usia mencapai 50-an. Memiliki 2 anak Batari Sekar Dewangga (10) dan Ainun Anggita Mukti (4). Dua buah komik Gundala, dilatarbelakangi kegagalan dan asa cintanya, yaitu Gundala Jatuh Cinta (1972) dan Pengantin Buat Gundala (1977). Saat ini bekerja sebagai komikus lepas, editor, ilustrator, dan penulis skenario bagi beberapa program TV dan teater. Selain itu namanya masih tercantum sebagai art manager PT Bumi Langit.

Setelah lama tidak terdengar, tahun 2005 agak sering diberitakan media karena rencana Penerbit PT Bumi Langit menerbitkan ulang semua karya Gundala yang mencapai 23 buku. Dan tahun 2009 ini sehubungan dengan rencana peringatan 40 tahun Gundala dan pembuatan film Gundala The Movie.

Ada beberapa fakta menarik yang berhasil saya kumpulkan mengenai Gundala dan Hasmi:
1. Gagasan Gundala diinspirasi oleh tokoh komik The Flash yan dipadukan dengan cerita legenda Ki Ageng Selo.
2. Tokoh Nemo di komik Gundala adalah cerminan Hasmi. Kebetulan Nemo adalah nama panggilannya.
3. Pengakuan terakhir Hasmi, Gundala adalah seorang insinyur bukan peneliti, dosen sebagaimana yang disebutkan di Wikipedia. Ini mungkin ada hubungannya dengan cita-citanya yang gagal menjadi seorang insinyur karena gagal masuk UGM.
4. Dalam Gundala The Movie yang akan masuk bioskop bulan Juni 2009, Gundala diceritakan sebagai arkeolog. Dalam hal ini nampaknya Hasmi keberatan. Rencana film ini nampaknya menjadi tidak jelas sesuai konfirmasi terakhir Hasmi (12/3) ke Jawa Pos. Apa yang ada di Facebook bukan resmi dari Bumi Langit tetapi merupakan inisiatif para penggemar Gundala.
5. Saat ini dia sedang sibuk menyiapkan edisi 40 Tahun Gundala bersama tim dari Bumi Langit yang rencananya diterbitkan September, sesuai kelahiran Gundala.


Gundala Putera Petir (1969)

Komigrafi Gundala:
1. Gundala Putera Petir (UP Kentjana Agung, 1969)
2. Perhitungan di Planet Covox (UP Kentjana Agung,1969)
3. Dokumen Candi Hantu (UP Kentjana Agung,1969)
4. Operasi Goa Siluman (UP Kentjana Agung,1969)
5. The Trouble (UP Kentjana Agung,1969)
6. Tantangan buat Gundala (UP Kentjana Agung,1969)
7. Panik (UP Kentjana Agung,1970).
8. Kuntji Petaka (UP Prasidha,1970).
9. Godam vs Gundala (UP Prasidha,1971)
10. Bentrok Jago-jago Dunia (UP Prasidha,1971)
11. Gundala Jatuh Cinta (UP Prasidha,1972).
12. Bernafas dalam Lumpur (UP Prasidha,1973)
13. Gundala Cuci Nama (UP Prasidha,1974)
14. 1000 Pendekar (UP Prasidha,1974)
15. Dr. Jaka dan Ki Wilawuk (UP Prasidha,1975)
16. Gundala sampai Ajal (UP Prasidha,1976)
17. Pangkalan Pemunah Bumi (UP Prasidha,1977)
18. Penganten buat Gundala (UP Prasidha,1977)
19. Bulan Madu di Planet Kuning (UP Prasidha,1978)
20. Lembah Tanah Kudus (UP Prasidha,1979)
21. Gundala Sang Senapati (UP Prasidha,1979)
22. Istana Pelangi (UP Prasidha,1980)
23. Surat dari Akherat (UP Prasidha,1982)

Semuanya diterbitkan ulang oleh PT Bumi Langit, kecuali Bentrok Jago-jago Dunia karena masalah hak cipta.

Tahun 1988, Gundala pernah muncul di Jawa Pos sebagai komik strip.

Filmografi:
1. Gundala Putra Petir (1981, Teddy Purba sebagai Gundala, Sutradara Lilik Sudjio).
2. Gundala The Movie (rencana Juni 2009, Sandy Mahesa sebagai Gundala, Sutradara Alex J. Simal, Produksi Langit Bumi Pictures).

Fan Made Komik:
1. Gundala The Reborn (1999, Adurahman Saleh)
2. Putra Petir (2001, Riri Dewi)
3. Sancaka (2005, Ahmad Ilyas)
4. Gundala (2005, Asrulloh)

Kita tunggu kehadiran Gundala Edisi 40 Tahun dan [mungkin] The Movie-ny

Sumber:suara merdeka
Kamis, 21 Juli 2005

Selasa, 16 Maret 2010

ERWAN SOFYAN SANG KOLEKTOR CERITA SILAT





Ini tulisan yang dibuat oleh mas Tommy Johan Agusta dari Bali, seorang kolektor buku cerita silat dan komik terkenal. Tulisannya tentang seorang Erwan Sofyan, kolektor pecinta buku cerita silat di Jakarta. Tulisan ini menambah wawasan kita, betapa untuk sebuah hobi seseorang bisa menekuni dan mengoleksi sesuatu hingga : "luar biasa". Apapun itu hobinya, entah buku, dokumen, rokok, kaleng, kalender, jam weker, yang berukuran kecil dan murah harganya, hingga perabot rumah tangga dari kayu yang besar ukurannya serta mahal harganya. Marilah kita simak tulisan mas Tommy berikut ini :

Setelah bermalam di rumah Cak Marto, maka kaki pun melangkah untuk disibukkan dengan rutinitas kantor yaitu meeting tresno hehehe. Artinya Si Trisno di Piting biar kayak Kepiting. Kebetulan nanti sore sudah berjanji bertemu di Pluz+ Plaza Semanggi dengan Mas Andy Wijaya dari KomikIndonesia, Mas Erwin Prima, maupun Mas Ginardi. Sehingga pikiran juga jadi nggak fokus dan kepingin sang waktu segera berputar cepat.
Kemudian tiba-tiba ada sms masuk, ternyata dari Mas Ginardi yang mengatakan bahwa nanti sore tidak bisa ketemu karena masih terjebak macet di dekat Kantor DPR.

Singkat cerita waktu sudah pukul 16.00 wita, segera angkat tas rangsel andalan dan pesen taxi. Meluncur ke Pluz+. Tiba di Lantai 2, welah dalah ternyata Toko Pluz+ malah tutup. Daripada bengong saya manfaatkan untuk berkeliling diseputaran lantai 2 yang memang banyak toko buku. Tiba-tiba teringat di Lantai 5 kayaknya ada XXI. Segera menuju ke sana, ketika melihat jadwal film yang diputar, salah satunya adalah CONFUSIUS dengan bintanya CHOU YUN FA. Dengan rangsel di punggung, maka nontonlah aku.... Keren sekali film ini. Sayang aku lupa Nama-nama kerajaan di zaman itu, kayaknya ada Kerajaan LU segala dech.

Malamnya segera ke hotel di seputaran Senen, dan pagi2 kembali ke aktivitas piting-pitingan. Tiba-tiba teringat kawan sesama penggemar Cerita Silat. Yang ini sih kategorinya "SENIOR". Di kalangan Kang Ouw, si boss ini dapat dikatakan sebagai Kamus Berjalan. Cerita Silat Mandarin sudah habis dilalap bagai sayuran nasi pecel. Maka ku sms, bahwa saya di Jkt dan nanti malam segera balik ke Dps.

Pak Erwan yang kebetulan sedang berada di Mangga Dua, lumayan dekat dengan Senin. Segera nelpun agar jangan lama-lama ke sananya, karena mau sekalian diajak ke Tangerang. Lho ke Tangerang? Ngapain boss? Kata saya bingung. Belum pernah ke Anton Anelinda kan? Kujawab Belum. Nanti kuantar kesana, sekalian mampir ke rumahku
Asyikkkkkk... Mantapppppp.... Saat yang ditunggu-tunggu hehehehehe

Meluncurlah aku ke Mangga Dua, disambut oleh Boss Erwan kemudian diajak makan di Lantai 3, dan tanpa Ba Bi Bu segera tancap ke Tangerang.

Sepanjang perjalanan yang kami obrolkan adalah seputar nama-nama pengarang Cerita Silat jadul.
Saya: Boss, cersil-cersil jadul itu banyak saduran siapa ya?
Boss: Misalnya karya siapa?
Saya: kayak OPA, Chung Sin, Tjoe Beng Siang
Boss: Chung Sin itu anaknya OPA (Oh Peng Am). Nah Tjoe Beng Siang itu si Endra Setiadi.
Diskusi ini jadi meriah dan tanpa terasa kami sudah tiba di halaman Anelinda.

Anelinda ternyata terletak di Lantai-2, dan koleksi buku-bukunya relatif banyak. Namanya juga pecinta buku, pas kami di Anelinda sudah pasti kami sibuk memilah dan memilih aneka buku, komik dan cerita silat kesukaan. Untuk cersil terus terang saya mendapatkan banyak info dari Boss Erwan. Sedangkan untuk komik, (dengan bangga) Boss Erwan banyak bertanya ke saya. Di Anelinda pun ketemu Anton, sehingga menjadi riuh luar biasa. Sayang nggak ketemu Boss Birawayudha hehehehe

Pulang dari Anelinda, maka menuju ke rumah Boss Erwan.
Lupa alamatnya..............
Dan suasana rumah yang bener-bener pecinta buku
Dilihat saja ya hehehehehe

Koleksi yang Luar Biasa Bosss

Dituangkan di Denpasar
12 Maret 2010

Dari : jadul1972.multiply.com